POLITISASI ANGGARAN PENDIDIKAN

Pada saat kampanye sebagai capres dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berjanji biaya pendidikan dasar akan ditanggung oleh pemerintah sehingga semua anak Indonesia terjamin pendidikan dasarnya. Termasuk meluaskan kesempatan mendapat pendidikan, memperbaiki metodologi pendidikan, meningkatkan mutu guru dan hubungan antara pendidikan dan lapangan kerja serta kesejahteraan guru.

Bahkan, SBY waktu itu juga berkomitmen melakukan berbagai upaya efisiensi untuk menambah anggaran pendidikan. Efisiensi tersebut meliputi anggaran biaya perjalanan, pemberian mobil mewah untuk pejabat negara, alokasi dari belanja barang, dan juga pengaturan pajak yang lebih baik.

Dalam perjalanannya, setelah terpilih sebagai presiden, komitmen Presiden SBY terhadap pendidikan tidak sejalan dengan amanat konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar. Selain itu juga melenceng jauh dari janji yang pernah disampaikan dalam kampanye pemilihan presiden 2004 lalu.

Buktinya terlihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang disusun oleh Pemerintahan SBY sudah menetapkan pembiayaan pendidikan dalam kurun waktu 2005-2009. Secara jelas RPJM menunjukkan tidak adanya prioritas pada perbaikan pelayanan pendidikan dasar yang masih dihadapkan pada persoalan klasik, seperti tidak meratanya kesempatan, rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, serta lemahnya manajemen penyelenggaraan pendidikan. Kemudian, RPJM juga tidak menunjukkan komitmen pemerintah untuk melakukan berbagai program pembangunan pendidikan yang dibarengi dengan tekad memprioritaskan alokasi anggaran pada sektor pendidikan.

Presiden SBY dalam RPJM menetapkan anggaran pendidikan akan dinaikkan secara bertahap hingga mencapai 20,1 persen (Rp 65,5 triliun) dari belanja pemerintah. Rencana tersebut (mulai 2006) adalah 12 persen (Rp 33,8 triliun), 14,7 persen (Rp 43,4 triliun), 17,4 persen (Rp 54 triliun) dan 20,1 persen (Rp 65,5 triliun).

Garis kebijakan Presiden SBY sengaja melawan amanat UUD tentang pendidikan. Pelanggaran terhadap konstitusi tersebut sudah dibuktikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

MK dalam sidang pengucapan putusan Perkara 13/PUU-VI/2008, Rabu (13/8) lalu, di Ruang Sidang MK menyatakan seluruh ketentuan UU APBN-P 2008 mengenai anggaran pendidikan bertentangan dengan UUD 1945. Pernyataan MK itu merupakan putusan atas perkara yang diajukan oleh Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan sekumpulan guru selaku perorangan tersebut terkait dengan UU No 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (UU APBN-P 2008), dengan rasio anggaran pendidikannya hanya 15,6 persen yang berarti melanggar amanat UUD 1945.

Menurut ketentuan konstitusi anggaran pendidikan harus sekurang-kurangnya 20 persen APBN. Tidak terpenuhinya perhitungan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen membuat keseluruhan perhitungan anggaran dalam UU APBN-P 2008 menjadi inkonstitusional.

Sebelumnya MK juga sudah menyatakan bahwa UU No 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun Anggaran 2006 (UU APBN 2006) sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1 persen sebagai batas tertinggi, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keputusan itu mengacu pada kenyataan bahwa UU APBN bertentangan dengan UUD 1945 karena anggaran pendidikan tidak memenuhi alokasi sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

Anggaran dalam RAPBN 2009

Setelah beberapa kali dinyatakan oleh MK bahwa anggaran pendidikan yang ditetapkan bertentangan dengan konstitusi, pemerintah akhirnya memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Namun, anggaran 20 persen yang ditetapkan pemerintah dalam RAPBN 2009 tidak menjamin seluruh warga negara usia pendidikan dasar bisa mengikuti pendidikan atas biaya pemerintah sebagaimana amanat konstitusi.

Kenaikan tersebut hanya digunakan untuk rehabilitasi gedung sekolah dan membangun puluhan ribu kelas dan ribuan sekolah baru. Kemudian, memberikan hibah dalam bentuk bantuan operasional langsung ke sekolah yang dikenal dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan memberikan bantuan langsung tunai kepada keluarga miskin melalui Program Keluarga Harapan (PKH).

Ada juga untuk menyediakan beasiswa lebih dari satu juta siswa SD/MI, lebih dari 600 ribu siswa SMP/MTs, 900 ribu siswa SMA/SMK/MA, dan lebih dari 200 ribu mahasiswa PT/PTA dari keluarga tidak mampu. Termasuk membiayai perbaikan kesejahteraan dan kualitas kompetensi guru, antara lain dengan menaikkan penghasilan mereka.

Padahal, keharusan menetapkan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD adalah untuk memenuhi amanat UUD 1945 amendemen keempat Pasal 31 Ayat (1) yang menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Ayat (2) "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".

Ada juga ketentuan dari UU Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN). Pertama, "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." Pasal 5 Ayat (1).

Kedua, "setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.” Pasal 6 Ayat (1). Ketiga, "pemerintah dan pemda wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi." Pasal 11 Ayat (1). Keempat, "pemerintah dan pemda wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan 15 tahun." Pasal 11 Ayat (2).

Penjelasan itu mengindikasikan bahwa dalam RAPBN 2009 ada motif suap politik demi pemenangan pemilu presiden 2009. Indikasi itu terlihat dari modus kebijakan penyaluran BTL pada keluarga yang dikategorikan miskin sesuai standar kebijakan pemerintah. Bisa dilihat juga dari kebijakan menaikkan gaji guru.

Melalui modus kebijakan tersebut, sebagai incumbent, Presiden SBY bisa mematok target base voter yang akan memuluskan pemenangan pemilu presiden pada 2009. Kita patut mencurigai sejak awal sebagaimana dirumuskan dalam RPJM 2005-2009, Presiden SBY menggunakan kebijakan fiskal hanya untuk mendongkrak popularitas semata.

Analisa

Semua pasti setuju jika janji anggaran pendidikan 20% dari APBN adalah sebuah omong kosong, adalah sebuah umpan untuk menangklap ikan. Namun saat ikan itu memakan umpan kail tidak juga ditarik. Yah, beginilah pendidikan di Indonesia. Jika kita terus menunggu dana 20% itu terrealisasi, keburu tua. Angka kelahiran di Indonesia sangat tinggi, penduduk berjubel dan terfokus, banyak penganguran, orang miskin, gelandangan, dan orang gila. Jadi banyak rakyat yang membutuhkan anggaran. Belum lagi jika ada kepentingan politik, terutama kampanye. Kemudian fasilitas bagi pemerintah yang wah. Uang rakyat ini harus dibagi – bagi dengan rata, menurut prioritas tentunnya.

Jika sekolah tidak bias memberikan gedung yang layak, ya sudah sekolah di luar gedung saja, toh sekarang banyak sekolah alam yang justru menjadi alternative. Anak – anak orang kaya sekolah di swasta saja, biar uang pemerintah untuk orang miskin saja. Tidak perlu mengantungkan pemerintah terus – menerus, ingat pemerintah tidak akan menarik kailnya. Lebih baik kerja mandiri, sekolah mandiri.

PROTEIN DAN PRESTASI OLAHRAGAWAN

Artikel oleh: Meike Mayasari, S.Gz.

Kebutuhan akan zat gizi mutlak bagi tubuh agar dapat melaksanakan fungsi normalnya. Pada dasarnya kebutuhan makanan bagi olahragawan tidak atau sedikit berbeda dari yang bukan olahragawan. Dalam hal ini makanan yang diperlukan tubuh adalah makanan yang seimbang dengan kebutuhan tubuh sesuai dengan umur dan jenis pekerjaaan yang dilakukan sehari-harinya. Untuk olahragawan karena aktivitas sehari-harinya lebih berat dari orang bukan olahragawan, maka porsi makanannya harus lebih besar disesuaikan dengan jenis olahraganya (ringan, sedang, berat). Terkait dengan kebutuhan protein, sampai saat ini banyak olahragawan maupun orang biasa yang ingin membentuk otot percaya bahwa dengan makan banyak sumber protein maka pembentukan otot akan lebih cepat. Namun, sejauh mana asupan tinggi protein untuk pembentukan otot, berikut akan di jelaskan.

Sumber protein bisa berasal dari hewani maupun nabati. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tempe dan tahu, serta kacang-kacangan lain. Kacang kedelai dan merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu atau nilai biologi tertinggi. Namun protein kacang-kacangan terbatas dalam asam amino metionin. Sedangkan protein padi-padian tidak komplit, dengan asam amino pembatas lisin. Oleh karen itu dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan dengan susunan hidangan yang beragam atau sering pula disebut sebagai menu seimbang, maka kekurangan asam amino dari bahan makanan yang satu, dapat ditutupi oleh kelebihan asam-asam amino dari bahan makanan lainnya. Dalam merencanakan diet, disamping memperhatikan jumlah protein perlu diperhatikan pula mutunya.

Protein dapat berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-iakatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, sumber energi. Protein dapat berfungsi sebagai sumber energi apabila karbohidrat yang dikonsumsi tidak mencukupi seperti pada waktu berdiit ketat atau pada waktu latihan fisik intensif.

Secara tradisional, atlet diharuskan makan lebih banyak daging, telur, ikan, ayam, dan bahan makanan sumber protein lainnya, karena menurut teori, protein akan membentuk otot yang dibutuhkan atlet. Hasil penelitian mutakhir membuktikan bahwa bukan ekstra protein yang membentuk otot, melainkan latihan. Latihan yang intensif yang membentuk otot. Untuk membangun dan memperkuat otot, anda harus memasukkan latihan resistan seperti angkat besi di dalam program latihan.

Agar cukup energi yang dikonsumsi untuk latihan pembentukan otot, makanan harus mengandung 60% karbohidrat dan 15% protein dari total energi. Kedengarannya aneh, tetapi sesungguhnya seorang atlet binaragawan dan pelari marathon dapat mengkonsumsi makanan dari hidangan yang sama. Seorang binaragawan cenderung berotot lebih besar dari pelari, karena itu ia membutuhkan lebih banyak energi.

Makanan yang terbaik untuk atlet harus mensuplai cukup protein tetapi tidak berlebihan untuk keperluan perkembangan dan perbaikan jaringan otot yang aus, produksi hormon, dan mengganti sel-sel darah merah yang mati dengan yang baru. Seringkali atlet mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi protein, sehingga mereka mendapatkan dobel dari kebutuhannya.

Kebutuhan protein bagi individu yang bukan atlet berkisar antara 0.8-1 g/ kg BB/ hari dengan perbandingan protein hewani terhadap nabati 1:1. Kebutuhan protein untuk seorang atlet yang masih aktif berlatih, sedikit meningkat, mencapai 1-1,2 g/ kg BB/ hari. Bagi atlet yang sedang meningkatkan power dengan memperbesar serabut otot (misalnya pada latihan anaerobik serta atlet yang masih dalam masa pertumbuhan), kebutuhan terhadap protein lebih meningkat lagi tetapi tidak lebih dari 2 g/ kg BB/ hari. Pemberian protein yang melebihi kebutuhan akan menyebabkan protein kelebihan itu akan diubah menjadi lemak tubuh. Selain itu protein yang diberikan secara berlebihan menyebabkan kebutuhan akan air meningkat.

Menu yang banyak mengandung protein sering merupakan pilihan utama bagi para atlet. Mungkin hal ini disebabkan pengetahuan bahwa otot dibangun oleh protein sehingga timbul anggapan bahwa makan banyak protein akan merangsang pertumbuhan otot dan menambah kekuatan.

Sebetulnya suatu menu yang seimbang/ adekuat yang terdiri dari makanan biasa akan memberikan semua protein yang dibutuhkan atlet untuk performance yang maksimal. Dari penyelidikan Peteenhofer dan Volt ternyata bahwa pembakaran protein diwaktu latihan berat tidak lebih tinggi dari pada waktu istirahat, juga setelah cadangan glikogen habis, sedangkan bila latihan diteruskan tidak didapati eksresi nitrogen yang berarti.

Namun pemberian protein yang cukup tinggi dianjurkan terutama pada musim awal latihan, misalnya 1-2 bulan. Apalagi mengingat keadaan gizi atlet sering belum memuaskan pada waktu masuk pusat latihan. Dalam waktu permulaan ini memang banyak protein dibutuhkan selain untuk aktivitas enzim yang optimal juga untuk membangun otot. Apalagi bagi mereka dengan olahraga yang memerlukan pertumbuhan otot yang banyak. Diperlukan keseimbangan nitrogen yang selalu positif, sedangkan dengan pemberian protein 1 g/ kg BB/ hari pada waktu ,latihan, keseimbangan nitrogen positif sulit dipertahankan. Jadi dianjurkan pemberian protein 1,2-1,5 g/ kg BB/ hari pada permulaan masa latihan, tergantung dari sifat/ macam olahraganya. Untuk olahraga yang memerlukan banyak tenaga dianjurkan untuk lebih banyak lagi protein daripada untuk olahraga yang mementingkan kecepatan.

Dianjurkan memberikan protein dengan prosentase (%) yang menurun, bila pemberian kalori/ hari semakin meningkat, yaitu:

Jumlah kalori/ hari % Protein dari energi total

  • 2500 15 %
  • 3000-4000 14 %
  • 4500-5000 13 %
  • 5500-6500 12 %
  • 7000-8000 11 %

Sumber lain menyebutkan bahwa kebutuhan protein tergantung pada macam atlet. Di bawah ini diilustrasikan anjuran konsumsi protein:

Macam Atlet Gram protein/kg BB

  • Atlet berlatih ringan 1,0
  • Atlet yang rutin berlatih 1,2
  • Atlet remaja (sedang tumbuh) 1,5
  • Atlet yang memerlukan otot 1,5

Pemberian protein terlalu rendah juga akan merugikan karena protrein tubuh akan dipecah dan tenaga akan dipakai untuk pemecahan protein tubuh itu. Protein tidak perlu berasal dari daging tetapi asalkan dari bahan makanan kaya protein, secepatnya tentu yang berasal dari hewani sebab proteinnya bernilai tinggi.

Tetapi sebaiknya jangan sampai melampaui 2g/ kg BB/ hari, sebab kebanyakan protein akan menyebabkan SDA yang tinggi, yang akan merugikan metabolisme energi untuk kerja luar. Pemberian protein yang terlalu banyak dalam waktu yang lama, akan merupakan beban bagi ginjal karena harus bekerja berlebihan untuk mengolah dan mengeluarkan hasil pemecahan protein itu. Hal ini mengakibatkan ekskresi air juga bertambah, perasaan hauspun bertambah.

Meskipun protein merupakan zat pembangun tubuh, bahkan menurut Guyton (19910:384) ¾ zat padat tubuh adalah protein, sebagai dasar pembentuk otot (actin, myosin, collagen dan keratin), sesesorang yang ingin membentuk atau membesarkan ototnya seperti binaragawan tidaklah memerlukan konsumsi protein yang berlebihan seperti yang ditawarkan oleh iklan-iklan sebab kelebihan protein justru merugikan. Pembentukan massa otot (hipertropi) dan kekuatannya ditentukan oleh latihan yang terprogram dengan baik dan ditunjang oleh makanan yang sehat berimbang.

Protein memang sangat diperlukan oleh tubuh, tetapi terlalu banyak mengonsumsi protein juga akan menimbulkan masalah. Akibat-akibat yang muncul karena terlalu banyak mengonsumsi protein antara lain:

  • Kelebihan protein akan disimpan dalam tubuh dalam bentuk lemak sehingga akan menjadi semakin gemuk.
  • Memperberat kerja hati dan ginjal untuk membuang nitrogen pada metabolisme asam amino (deaminasi).
  • Produksi urin berlebihan dapat mengganggu penampilan.
  • Mineral-mineral penting seperti potasium, kalium, magnesium akan terbuang melalui urin sehingga dapat menimbulkan dehidrasi.
  • protein bukan energi yang siap pakai, proses metabolisme memerlukan waktu yang lama.
  • Protein merupakan sumber energi yang kurang efisien karena SDA (spesific Dynamic Action) atau energi yang dibutuhkan untuk proses metabolisme cukup besar yaitu 30-40% padahal SDA karbohidrat hanya 6-7% dan SDA lemak 4-14%.

Pemakaian suplemen protein pada atlet dipercaya dapat meningkatkan ukuran otot sehingga kekuatan otot akan bertambah dan dapat mengurangi lemak tubuh. Penggunaan ekstraprotein dapat berupa menambah konsumsi bahan makanan sumber protein terutama protein hewani melebihi kebutuhan normal yang dianjurkan atau menggunakan jenis asam amino tertentu dalam bentuk tepung. Binaragawan adalah contoh olahragawan yang sering mengkonsumsi protein berlebih, misalnya dalam sehari harus menyantap berpuluh-puluh telur, beberapa kilogram daging dan suplemen protein.

Sebenarnya kebutuhan protein relatif sedikit sehingga apabila asupan makanan sehari-hari sudah mencukupi kebutuhan zat gizi termasuk protein maka suplemen protein (asam amino) tidak diperlukan. Dengan menu makanan tersebut, kebutuhan protein untuk pertumbuhan dan penggantian sel-sel yang rusak sudah tercukupi.

Asupan protein yang berlebihan memberatkan kerja ginjal dan hati yang berpengaruh terhadap kinerja olahragawan. Untuk itu olahragawan tidak dianjurkan mengonsumsi protein yang berlebihan (high protein intake).

Kelebihan intake protein juga mempunyai efek terhadap status gizi. Sebagai contoh, asupan protein yang tinggi dapat berlawanan dengan metabolisme kalsium dan meningkatkan kebutuhan cairan. Peningkatan kebutuhan cairan bisa menyebabkan atlet beresiko tinggi mengalami dehidrasi.

Referensi :

  • Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Husaini, M.A. Kebutuhan Protein untuk Berprestasi Optimal. Puslitbang Gizi Departemen Kesehatan Bogor Jawa Barat. www.gizi.net.
  • Irianto, Djoko Pekik. 2007. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan. Yogyakarta: Andi.
  • Lutan, R., Habibudin, C., Suherman, A. 1999/2000. Gizi Olahraga. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
  • Mahan, K., Stump, S. 2004. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy. USA: Elsevier.
  • Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat.

MENUJU ERA PERUBAHAN

Seiring dengan arus deras reformasi yang melanda Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, berkembang pula satu terminologi yang memenuhi wacana manajemen pemerintahan sekaligus mewarnai agenda politik bangsa ini, yang menuntut perubahan mendasar dalam sistem birokrasi kita. Terminologi itu tak lain adalah good governance. Gegap gempita terma ini lantas menghiasi perbincangan tentang arah dan masa depan birokrasi Indonesia. Inilah gambaran cita-cita luhur tentang profil birokrasi yang hendak diwujudkan oleh bangsa ini. Bahkan, saat ini Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tengah menyusun modul penerapan good governance yang berisi pengalaman berbagai daerah yang sedang dibina Menneg PAN dan bisa dijadikan contoh bagi daerah lain.

Kalau melihat potret beberapa daerah, kita mungkin bisa berharap dari geliat reformasi birokrasi di daerah. Tidak semua birokrasi buruk. Toh nyatanya ada juga birokrasi di daerah yang bisa memberikan pelayanan publik dengan cukup baik. Kabupaten Solok, misalnya. Beberapa hal yang dapat dipetik dari keberhasilan Kabupaten Solok di antaranya adalah peran bupati dalam keberhasilan penerapan program daerah, pelayanan satu pintu plus, pemberian tunjangan daerah, serta transparansi penyelenggaraan pemerintah dan partisipasi masyarakat.Salah satu hasil nyata yang bisa dilihat dari Kabupaten Solok adalah peran bupati dalam memberikan contoh dan teladan dalam berbagai tindakan yang menggambarkan good governance. Misalnya, bupati bersedia mengurangi penghasilannya sampai 87 persen, yang kemudian mampu meredam gejolak yang timbul di beberapa kalangan pejabat yang merasa penghasilannya kurang (Kompas, 26/5/2006).

Contoh lain yang dapat ditiru adalah Kabupaten Sragen. Di kabupaten itu semua sumber daya diberdayakan dengan maksimal. Beberapa hasil nyata yang bisa dilihat adalah keuangan mikro untuk usaha kecil menengah, di bidang pertanian dihasilkan beras organik, dan kantor pelayanan terpadu. Untuk keuangan mikro, Pemerintah kabupaten Sragen menyediakan Rp 72,7 miliar yang diputar untuk membantu usaha kecil menengah. Sementara di kantor pelayanan terpadu, masyarakat bisa mendapatkan 62 jenis pelayanan di satu tempat.

Dengan dua contoh keberhasilan itu, apakah reformasi birokrasi telah cukup, terlebih jika tolok ukurnya hanya dengan pelayanan publik yang baik? Tentu saja jawabannya tidak. Melalui good governance, reformasi birokrasi harus dijalankan secara menyeluruh. Meskipun demikian, implementasi konsep good governance tidak pula semudah membalik telapak tangan, walau bukan berarti tidak mungkin. Sebagai aktivitas memerintah, good governance memenuhi empat aspek. Pertama, prinsip keadilan sosial, termasuk di dalamnya sistem pengadilan yang independen dan tidak pandang bulu. Kedua, kebebasan ekonomi beserta pemerataan hasil pembangunan. Ketiga, kemajemukan politik yang ditandai dengan partisipasi masyarakat dan prinsip equity (kesamaan). Sementara keempat, adalah prinsip akuntabilitas pemerintah.

Sementara dalam tataran praksis, upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik itu dapat diukur berdasarkan sepuluh sendi yang menjadi karakter birokrasi yang diwujudkan melalui konsep ini. Kesepuluh sendi tersebut merupakan hasil kesepakatan dari Asosiasi Pemerintah Kota Se-Indonesia, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Se-Indonesia, dan Asosiasi Pemerintah Propinsi Se-indonesia pada tahun 2001, yang terdiri atas:

Pertama, prinsip akuntabilitas. Good governance meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Birokrasi pun muncul sebagai sosok yang bertanggung jawab terhadap kinerjanya demi kemaslahatan seluruh masyarakat.

Kedua, efisiensi dan efektivitas. Melalui good governance, birokrasi didorong untuk menggunakan segala sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab guna menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat. Tidak ada lagi rantai birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Tidak ada lagi prosedur administrasi yang njelimet. Seluruh tata administrasi pemerintahan dibangun menuju prinsip better, faster, cheaper (lebih baik, lebih cepat dan lebih murah).

Ketiga, partisipasi. Good governance mendorong setiap warga untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam implementasinya, prinsip ini berhadapan vis a vis dengan apatisme dan skeptisme publik. Publik tidak lagi dipandang sebagai objek pembangunan semata, lebih dari itu, mereka adalah subjek sekaligus partner bagi pemerintah dalam mewujudkan cita-cita pemerintahan yang madani.

Keempat, wawasan ke depan. Dalam prinsip ini, good governance memandu birokrat membangun daerahnya berdasarkan visi, misi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan. Dengan demikian, warga pun merasa memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan daerahnya. Seorang birokrat dituntut untuk memiliki wawasan yang futuristik, yang disertai dengan pola kerja yang sistematis. Jiwa dinamis seorang birokrat ikut mewarnai kerja organisasi. Seorang birokrat haruslah up to date dengan segala perkembangan jaman.

Kelima, transparansi. Berlandaskan pada prinsip good governance, birokrasi mendorong kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dengan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Krisis kepercayaan merupakan salah satu kendala besar yang dihadapi birokrasi Indonesia dewasa ini dalam setiap implementasi serta sosialisasi kebijakan mereka. Alhasil, sense of belonging dan sense of responsibility masyarakat terhadap pembangunan pun menjadi rendah.

Keenam, profesionalisme. Good gonernance meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. Birokrat memiliki kejelian dalam melihat sumber-sumber baru yang potensial dan mampu mengkombinasikan sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang optimal, tidak cuma mengeluh terhadap berbagai kekurangan yang ada, seperti anggaran yang terbatas. Birokrat yang tampil kemudian adalah mereka yang mampu mengoptimalkan keterbatasan sumberdaya yang ada menjadi sebuah gabungan kekuatan sinergis (resource mix) dan mempunyai produktivitas tinggi.

Ketujuh, penegakan hukum. Mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa melihat perbedaan ras dan stratifikasi sosial, ekonomi dan politik.

Kedelapan, daya tanggap. Meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Seorang birokrat haruslah pribadi yang sensitif dan responsif melihat semua peluang dan tantangan. Kemampuan berpikir jangka panjang dan penguasaan atas berbagai dinamika yang terjadi merupakan sebuah keharusan.

Kesembilan, kesetaraan. Pemerintahan di sini memberi penekanan pada aspek keadilan ekonomi, di mana negara memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pembangunan tidak sekadar berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melainkan pada pemerataan hasil-hasil pembangunan.

Kesepuluh, pengawasan. Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan masyarakat luas. Pembangunan bukan monopoli pemerintah, melainkan buah sinergi antara pemerintah-masyarakat-swasta. Di sini, pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator.

Selain itu, dari modul penerapan good governance itu, disegutkan ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk menilai keberhasilan penerapan good governance, yaitu peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya manusia, peningkatan pelayanan publik, peningkatan human development index (HDI), penurunan human poverty index (HPI), peningkatan partisipasi masyarakat, peningkatan transparansi, peningkatan akuntabilitas, serta penurunan angka korupsi, kolusi dan nepotisme.

REVIEW: WARLORDS. THE KUOMINTANG, AND NATIONALISM

China, yang bangkit dari tragedy Perang Dunia I bagaikan sebuah paradox antara kekacauan total dan kebangkitan yang mengagumkan . Semenjak wafatnya Yuan Sih Kai pada tahu 1916 hingga 1931, China bertahan menghadapi serangkaian internal warlordsim, menciptakan kesatuan nasional dibawah revolusi Kuomintang , dan berinisiatif untuk membebaskan dirinya dari status semi dependent, seperti layaknya Jepang. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, meskipun keduanya mengalami proses revolusi perubahan, namun proses tersebut tidaklah serupa. Pada tahun 1918, Jepang telah mencapai tahapan national-state yang powerful, industrialized, dan memiliki stabilitas ekonomi dan politik yang mapan. Sedangkan China berbeda, ia melalui serangkaian peperangan dan pergolakan politik dalam negeri yang tidak lepas dari konspirasi, faksionalisme, intrik, dan kekuatan para warlord.

Fenomena Warlordism

Saat Yuan Shih Kai wafat pada tahun 1916 dan Li Yuan Hung menjadi presiden, ada upaya-upaya untuk membangkitkan kembali konstitusi negara. Konstitusi asli tahun 1912, yang sebelumny dihancurkan dibangkitkan kembali dan orang-orang dari parlemen republic yang telah dibubarkan sebelumnya dipanggil kembali ke Peking. Namun, era konstitusionlisme China tampaknya berakhir saat pemerintah gagal merumsukan bentuk konstitusi yang sesuai, apakah federalism atau sentralisme.

Pertentangan ideology federalism versus sentralisme sebenarnya mengindikasikan bahwa proses unifikasi China masih menemui hambatan yang berarti. Hal itu juga menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah pusat China masih belum memiliki control politik yang kuat terhadap daerah yang dikuasai para warlord. Kelemahan control politik ini semakin memperjelas superioritas para warlord terhadap pemerintah pusat, dan menunjukkan bahwa sesungguhnya kekuasaan para wrlord ini adalh variable yang harus diperhitungkan dalam system perpolitikan China pada masa itu.

Terbukti, jawaban bagi perdebatan terhadap konstitusi yang legal muncul tidak melalui sistematika deal-deal politik yang terjadi di parlemen, namun dari kekuatan bersenjata para tentara yang dimobilisasi melalui keuasaan para warlord yang sarat dengan kepentingan pribadi masing-masing. Hal tersebut menjadi sebuah pertanda betapa rapuhnya rejim pemerintah China pada masa itu saat memasuki masa transisi dari monarki menuju pemerintahan presidensial maupun parlementer.

Kebangkitan Perjuangan di Selatan

Sejarah Cina Selatan sejak tahun 1917 hingga 1923 tidak bisa dilepaskan dari pergolakan pergolakan politik, terutama Peking. Keadaan tersebut identik dengan apa yang terjadi di Cina bagian Utara, yang sarat dengan pergolakan perebutan kekuasaan yang melibatkan warlord-warlord provinsi yang bertarung demi kepentingan pribadi. Namun demikian, ada perbedaan yang signifikan di Cina bagian Selatan, yaitu keberadaan seorang tokoh bernama Sun Yat Sen dan gerakan revolusinya yang bernama Kuomintang.

Meskipun pada awalnya tidak memiliki kekuatan massa yang signifikan, segera setelah Jenderal Chen Chiung ming (salah seorang pendukung fanatik Sun) berhasil mengalahkan rivalnya dari Kwangsi dan menaklukan Canton, Kuomintang seolah mendapat hembusan angin segar dan kekuatan yang baru dengan terpilihnya Sun sebagai presiden oleh para eksodus dari kabinet Peking yang lama pada tahun 1913. Pemerintahan Canton ini kemudain diklaim sebagi pemerintahan China yang sejati pada masa itu.

Kuomintang Baru

Babak baru dalam revolusi China telah dimulai. Pada periode 1923-1925 Sun memperluas basis kekuasaannya melalui dukungan dari Rusia dan Komunis China, yang menciptakan semangat baru bagi Kuomintang sekaligus menciptakan landasan untuk terbentuknya kekuatan militer dengan basis nasionalisme.

Pada tahun 1921 terbentuk Partai Komunis China, dan Abram Adolf Joffe dikirim oleh Rusia untuk menjembatani dialog pemerintah Peking dengan Kuomintang. Sun bertemu dengan Joffe dan melihat hal tersebut sebagi peluang untuk membentuk aliansi. Pada tahun 1923 keduanya berhasil mencapai kesepakatan bersama. Sun mendeklarasikan gagasannya bahwa tidak satupun dari sistem komunis atau sstem Uni Soviet yang cocok dengan China, sementara Joffe sejalan dengan gagasan Sun, menjamin dukungan penuh dari Rusia untuk unifikasi dan kemerdekaan China secara penuh.

Pada perkembangannya selama dua tahun kemudian, Kuomintang menjadi sebuah partai yang secara struktural bersifat totaliter dan disiplin, meskipun tidak berideologi komunis. Sementara itu, partai komunis china menyatakan dukungannya terhadap Kuomintang pada periode yang sama, dan para individual komunis tetap diizinkan bergabung. Pada Januari 1924, Kongres Partai kuomintang yang pertama terselenggara, menciptakan manifesto yang mendasar dan fraework bagi struktur kepartaian di masa mendatang dan hubungan pemerintahan.

San Min Chu I

Ideologi revolusioner yang dibawa oleh Sun Yat Sen untuk kebangkitan kembali China dikenal sebagai San Min Chu I, atau Tiga Prinsip Dasar Kerakyatan, yang didasarkan dari hasil pemikiran Sun sendiri semenjak tahun 1905. Tiga prinsip dasar tersebut adalah: Min Tsu (Kebangsaan), Min chuan (Kerakyatan), dan Min Sheng (Kehidupan bernegara). Min Tsu dan Min Chuan dimaknai sebagi Nasionalisme dan Demokrasi, sementara Min Sheng dimaknai sebagai terminologi yang variatif, bisa dimaknai sebagai sosialisme dan atau komunisme.

Nasionalisme, Min Tsu

Nasionalisme ala Sun adalah anti Manchu dan menentang pihak asing untuk turut serta dalam pemerintahan China. Segera, konsep ini menjadi konsep yang menyatukan berbagai klan dan suku di dalam kesatuan tunggal. Namun, muncul dilematika perdebatan tentang patrotisme dan bentuk negara yang sesuai guna mengakomodasi kepentingan berbagai dimensi ras dan suku. Sun percaya solusi bagi hal ini tersebut ada pada model negara yang federalis. Namun, perlu dicermati bahwa federalisme ini hendaknya tidak bersifat terlalu terbuka guna menghindari kemungkinan mengeksploitasi kelemahan struktur pemerintahan China dan akesasi dari pihak asing.

Demokrasi, Min Chuan

Ide demokrasi Sun berasal dari 4 sumber utama:

  1. Republikan ala Barat
  2. Doktrin Swiss tentang referendum, pemilihan umum, dsb
  3. demokratik sentralisme ala Soviet
  4. Ideologi China tentang kontrol kekuasaan.

Sedangkan kekuasaan politik akan didistribusikan kedalam 5 divisi: 1) eksekutif, 2) legislatif, 3) yudisial, 4) eksaminasi, 5) kontrol. Proses peralihan transisi kekuasaan ini akan dilakukan oleh Kuomintang selama proses penyatuan kekuatan militer dilakukan.

Min Sheng

Terminologi Min Sheng digunakan untuk menyebutkan suatu konsep pemenuhan kekayaaan yang tidak pernah disusun secara sistematis oleh Sun. Ide dasarnya adalah ekualitas dengan mekanisme kelebihan dari pendapatan individu dalam kepemilikan tanah akan mengalir ke negara untuk diregulasi dan didistribusikan secara lebih merata.

Wafatnya Sun Yat Sen

Sun wafat pada tahun 1925, saat ia hendak ke Peking untuk bertemu Tuan Chi Jui guna mendapatkan dukungan bagi terwujudnya perdamaian dalam proses unifikasi China. Wfatnya Sun menimbulkan dampak luar biasa terhadap Kuomintang dan sistem politik di China. Banyak yang menganggap bahwa sesungguhnya Sun adalah manifestasi fisik dari ideologinya sendiri, seperti halnya Confucius dengan Confucianismenya. Belum ada pemimpin dengan kapasitas yang mampu mensubstitusi peran Sun dalam pergerakan politik di china pada masa itu.

Adapun Kuomintang pasca Sun wafat dilanda rivalitas antara kubu nasionalis dan komunis, antara sayap kanan dan sayap kiri partai. November 1925, golongan sayap kanan setuju melolosakn resolusi yang mengeluarkan golongan sayap kiri dan komunis dari struktur kepartaian

Rivalitas tersebut semakin kentara saat demonstartor Wuhan (Kuomintang sayap kiri dan komunis) melancarkan serangan terhadap konsensi konsensi asing yang sedang dilaksanakan di kota Yangtze dan menuntut Revolusi Sosial. Chiang Kai Shek (suksesor Sun) dan golongan konservatif Kuomintang mengantisipasi dengan mendirikan basis pemerintahan sendiri di Nanking dan melancarkan serangkaian serangan terhadap sayap kiri dan komunis di dataran rendah Yang Tze.

Sementara itu, pergerakan nasionalis di Utara China kian gencar. Mereka mendapatkan dukungan dari para Tuchun dan tokoh tokoh seperti Feng Yu hsiang dan Yen Hsi Shan, yang kelak menjadi salah satu elemen viatl dari kemenangan kamu nasionalis dalam perang unifikasi China.

REFORMASI BIROKRASI, PERWUJUDAN GOOD GOVERNANCE, DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI

Oleh :

Prof Dr Mustopadidjaja AR.

Disampaikan Pada Silaknas ICMI 2001, Bertema”Mobilitas Sumber Daya Untuk Pemberdayaan Masyarakat Madani Dan Percepatan Perwujudan Good Governance"

Sementara itu, untuk mengaktualisasikan potensi masyarakat, dan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi bangsa, perlu dijamin perkembangnya kreativitas dan oto-aktivitas masyarakat bangsa yang terarah pada pemberdayaan, peningkatan kesejahteraan masyarakat serta ketahanan dan daya saing perekonomian bangsa. Dalam rangka itu, sistem penyelenggaraan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah, perlu memperhatikan antara lain prinsip-prinsip berikut.

Pertama, pemberdayaan. Dalam pada itu, aparatur pemerintah dalam mengemban tugas pembangunan, tidak harus berupaya melakukan sendiri. Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus dimampukan atau diberdayakan (empowered).

Kedua, pelayanan.

Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik ("code of ethical conducts") yang didasarkan pada dukungan lingkungan ("enabling strategy") yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah-daerah.

Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, di samping mematuhi kode etik, aparatur dan sistem manajemen publik harus mengembangkan keterbukaaan dan sistem akuntabilitas, serta bersikap terbuka untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, serta dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan masyarakat sebagai bagian dari pelaksanaan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara.

Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan, selain (1) memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah, juga (2) memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan otoaktivitas mereka, serta (3) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperanserta dalam proses penyusu-nan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya, dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Keempat, partisipasi. Masyarakat diikutsertakan dalam proses menghasil-kan public good and services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan, dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat ("empowering rather than serving"), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan.

Konsep pemberdayaan ("empowerment") juga selalu dikaitkan dengan pendekat­an partisipasi dan kemitraan dalam manajemen pembangunan, dan memberikan penekanan pada desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan agar diperoleh hasil yang diharapkan dengan cara yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat penting­nya peranan keswadayaan masyarakat, dan menekankan bahwa fokus pembangunan yang hakiki adalah peningkatan kapasitas perorangan dan kelembagaan ("capacity building"). Jangan diabaikan pula penyebaran informasi mengenai berbagai potensi dan peluang pembangunan nasional, regional, dan global yang terbuka bagi daerah; serta privatisasi dalam pengelolaan usaha-usaha negara.

Kelima, kemitraan. Dalam membangun masyarakat yang modern di mana masyarakat dan dunia usaha menjadi pelaku utamanya, terwujudnya kemitraan, dan modernisasi dunia usaha terutama usaha kecil dan menengah yang terarah pada peningkatan mutu dan efisiensi serta produktivitas usaha amat penting, khususnya dalam pengembangan dan penguasaan teknologi dan manajemen produksi, pemasaran, dan akses informasi.

Dalam upaya mengembangkan kemitraan dunia usaha yang saling meng-untungkan antara usaha besar, menengah, dan kecil, peranan pemerintah ditujukan ke arah pertumbuhan yang serasi. Pemerintah berperan dalam menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui berbagai kebijakan dan perangkat perundang-undangan yang mendorong terjadinya kemitraan antarskala usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya, serta pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi nasional, serta mendorong proses pertumbuhannya.

Keenam, desentralisasi. Dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, otonomi dilaksanakan dengan pelimpahan kewenangan yang luas kepada daerah Kabupaten/Kota Madya, dan Daerah Provinsi berperan lebih banyak dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, termasuk urusan lintas Kabupaten/Kodya yang memerlukan penyelesaian secara terkoordinasi. Penguatan kelembagaan sangat diperlukan dalam mewujudkan format otonomi daerah yang baru tersebut, termasuk kemampuan dalam proses pengambilan keputusan. Ini adalah langkah yang tepat, sebab perubahan-perubahan yang cepat di segala bidang pembangunan menuntut pengambilan keputusan yang tidak terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi, dan tangung jawab yang ada di daerah.

Karena pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah, berbagai kewenangan yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat, diserahkan kepada pemerintah daerah. Langkah-langkah serupa perlu diikuti pula oleh organisasi-organisasi dunia usaha, khususnya perusahaan-perusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta, sehingga pengambilan keputusan bisnis bisa pula secara cepat dilakukan di daerah. Dengan kata lain desentralisasi perlu juga dilakukan oleh organisasi-organisasi bisnis.

Ketujuh, konsistensi kebijaksanaan, dan kepastian hukum.

3. Catatan Akhir

Sebagai catatan akhir, kepada generasi muda saya ingin berpesan, sejarah perjuangan bangsa kita telah banyak memberikan pelajaran yang bermakna yang perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dalam pengembangan “sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa”. Dalam hubungan itu, saya ingin menyampaikan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, hayati dan amalkan etos bangsa bernegara yang tersurat dan tersirat pada lambang negara yang berbunyi “Bhineka Tunggal Ika”, putra putri bangsa Indonesia senantisa menghargai perbedaan dan kemajemukan, serta menjunjung tinggi semangat persatuan dan kesatuan, Bangsa Indonesia.

Kedua, senantiasa siap berkorban untuk mempertahankan Wilayah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan berjuang maksimal untuk memberikan kontribusi terbaik dalam perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita bernegara di seluruh bumi pertiwi.

Ketiga, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar palsafah hidup bangsa bernegara, dan konstitusi negara, yang perlu dipertahankan sebagai landasan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; perubahan-perubahan yang diperlukan dalam batang tubuh UUD diselenggarakan secara demokratis dan konstitusional, sesuai Pasal 37 UUD 1945.

Keempat, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menghikmati dan menjadi dasar keridlaan Tuhan atas sila-sila lainnya dari Pancasila, sebab itu pengembangannya harus didasarkan pada ajaran Tuhan yang otentik, dengan keariefan dalam pengama-lannya yang menghargai perbedaan dan keragaman, sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kelima, lakukan segala sesuatu dengan niat dan sebagai wujud ibadah dengan memadukan imtaq dan iptek sebagai kesatuan paradigma dalam melangsungkan ibadah bagi kemajuan masyarakat, bangsa, negara, dan ummat manusia secara keseluruhan, sehingga berani mengatakan “yang salah adalah salah, yang benar adalah benar”, dan memiliki kemampuan “untuk memperbaiki yang salah dan menegakkan yang benar” dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan, sebagai bentuk peranserta aktif dalam upaya bersama mewujudkan cita-cita bangsa bernegara.

KITA JUGA PUNYA PERAN BROW

Berbicara tentang mahasisiwa selalu tidak ada habisnya. Mahsisiwa adalah manusia yang dipenuhi idealisme. Mahasiswa senantiasa punya banyak cerita bagi negeri ini. Mahsiswa dianggap tunas-tunas baru yang akan menggantikan peran para pemimpin dimasa yang akan datang. Ditangan para mahasiswalah sekarang masa depan bangsa ini akan terjadi. Tongkat estafet ini akan diteruskan oleh mahasiswa. Disamping mahasiswa sebagai penerus kepemimpinan bangsa ini, ternyata mahasiswa berperan lebih besar sebagai agent of change. Tugas mahasiswa jangan pernah terhenti, ketika pemerintah berjalan baik, mahasiswa harus senantiasa berperan untuk menjadi oposisi dengan tetap mengawal pemerintah untuk meneruskan kinerjanya. Saat pemerintah mengalami penurunan kinerja, sudah sepatutnya mahasiswa bergerak untuk senantiasa mengingatkan tentang bagaimana pemerintah seharusnya bekerja.

Keadaan ini membuat semakin vitalnya mahasiswa dalam mengawal bangsa ini untuk semakin baik. Adanya tugas yang diemban oleh mahasiswa sekarang seakan-akan sudah menghilang, hal ini disebabkan oleh adanya aksi-aksi anarkisme yang melibatkan mahsiswa dan terkadang aksi-aksi ini terjadi antar mahasisiwa sendiri.

Ditengah peran dari mahsiswa yang sedemikian besar itu, terkadang mahasiswa merasakan suatu beban. Artinya mahasiswa mempunyai tanggungjawab yang tinggi terkait dengan statusnya. Mahasiswa harus bisa berkontribusi dalam masyarakat dan mahasiswa harus bersikap tegas dan strategis dalam setiap langkahnya. Ditengah perkembangan dunia pendidikan dewasa ini, kiranya harapan itu harus ditinjau ulang. Karena kenyataan sekarang banyak mahasiswa yang tidak lagi dapat bersikap seperti apa yang menjadi harapan masyarakat selama ini. Sebagian besar mahasiswa tidak dapat menjalankan fungsi yang selama ini diemban. Fungsi pembelajaran yang harusnya dapat ditransformasikan kepada masyarakat terkadang belum dapat dilaksanakan, hal ini disebabkan kualitas dari mahasiswa sendiri yang sekarang mulai menurun. Mahasiswa seharusnya dapat mentransformsikan sikap kritis dan kedewasaaannya dalam masyarakat. Hal terakhir inilah yang sekarang kurang ada dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa terkadang sering terjebak pada politk praktis sesaat, terjebak pada dunia kriminal dan sekarang mahasiswa terjebak dalam anarkisme layaknya preman. Anarkisme yang selama ini digemborkan mahasiswa untuk dilawan dan diberantas ternyata kurang mendapat respon. Hal ini dikarenakan oleh mahasiswa itu sendiri. Kasus paling hangat adalah kasus dalam bentrok antar fakultas di Universitas Hasanudin Makasaar. Fisipol dan teknik saling beradu kekuatan. Kejadian ini sangat disayangkan ditengah kampanye mereka anti kekerasan. Kedewasaan yang sekarang ini ada menjadi sia-sia. Pergerakan mahasiswa untuk bersama-sama dengan masyarakat membangun civil society mulai berkurang kepercayaannya. Seharusnya mahasiswa dapat berfikir kritis, tidak emosional dan dewasa dalam menghadapi masalah seperti itu. Sehingga tindakan-tindakan premanisme dan anarkisme dapat dihindarkan.

Harapan yang selama ini diemban oleh mahasiswa adalah sebagai agent of change mulai harus diintrospeksi lagi. Tentunya introspeksi ini harus dimulai dari mahasiswa sendiri sebagai solusi. Mahasiswa harus benar-benar menyadari posisi strategisnya dan beranjak dari statusnya maka mahasiswa harus berupaya untuk mewujudkan hal tersebut kedalam sebuah tindakan-tindakan yag rasional dan dewasa.