Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

TAHU BAGAIMANA MENGASUH DENGAN BAIK

Pengasuhan anak adalah sebuah interkasi yang terjadi antara pengasuh (orangtua, orang dewasa) dengan anak-anak yang diasuh. Pengasuhan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan pengasuh (Gunarsa, 1981). Pengasuh anak menjadi sangat penting karena melalui proses pengasuhan itulah anak tumbuh dan berkembang menjadi sebuah sosok individu dengan sperangkat karakteristik sejalan dengan yang ia terima selama proses pengasuhan berlangsung (Abrahi, 1998).

Pola asuh anak juga akan mempengaruhi Self Esteem atau harga dirinya di kemudian hari. Self Esteem adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang berkembang dari feeling of belonging (perasaan diterima oleh kelompok sosialnya), feeling competent (perasaan efisien, produktif) dan feeling worthwhile (perasaan berharga, cantik, pandai, baik) (Felker, 1998). Jadi Harga diri seseorang bisa dikatakan baik apabila ia merasa diterima oleh kelompok sosialnya, merasa mampu dan merasa berharga. Anak perlu diajarkan untuk memiliki self confidence (rasa percaya diri) yaitu mempunyai perasaan yang teguh pada pendiriannya, tabah apabila menghadapi masalah, kreatif dalam mencari jalan keluar dan ambisi dalam mencapai sesuatu. Ia juga perlu diajarkan untuk mempunyai self respect (hormat pada diri sendiri), yaitu mempunyai perasaan yang konstruktif, hormat pada orang lain, dan bersyukur pada apa yang dimilikinya.

Berbagai cara dapat diupayakan untuk menumbuhkan rasa percaya diri serta rasa hormat diri pada anak ini oleh orang tua. Diantaranya adalah dengan mendorongnya untuk selalu berupaya, menerima kelebihan dan kekurangannya, dan memberikannya pujian dan hadiah pada perilakunya yang mengarah pada rasa percaya diri dan rasa hormat dirinya tersebut.

Menurut Papalia & Olds (1993), ada beberapa karakteristik orang tua yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan harga diri anak. Menurut mereka, orang tua yang hangat, responsive dan memiliki harapan-harapan yang realistik akan meningkatkan harga diri anak, sedangkan orang tua yang perfeksionis, suka mengkritik, terlalu mengontrol atau terlalu melindungi, memanjakan, mengabaikan, serta tidak memberikan batasan-batasan atau aturan-aturan yang jelas dan konsisten akan menurunkan tingkat harga diri anak.

Pola Asuh Orang Tua.

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negative maupun positif.

Menurut Baumrind (1967), terdapat 4 macam pola asuh orang tua:

1. Pola asuh Demokratis

2. Pola asuh Otoriter

3. Pola asuh Permisif

4. Pola asuh Penelantar.

Pola asuh Demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

Pola asuh Permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

Pola asuh tipe yang terakhir adalah tipe Penelantar (neglected). Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.

Karakteristik-karakteristik Anak dalam kaitannya dengan pola asuh orang tua.

Karakteristik-karakteristik anak dengan pola-pola asuh tersebut di atas.

1. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif terhadap orang-orang lain.

2. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

3. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.

4. Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody, impulsive, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, Self Esteem (harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman.

MENGENAL TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

Teknologi pembelajaran dapat dilihat sebagai bidang yang mempunyai perhatian khusus terhadap aplikasi, meskipun prinsip dan prosedurnya berdasar pada teori. Kawasan bidang ini telah melalui pergulatan antara pengaruh nilai, penelitian,dan pengalaman praktisi, khususnya pengalaman dengan teknologi yang digunakan dalam pembelajaran. Bidang ini kemudian berkembang tidak hanya berupa pengetahuan teoritik tetapi juga pengetahuan praktis.

Setiap kawasan dibentuk oleh : (1) landasan penelitian dan teori; (2) nilai dan perspektif yang berlaku; (3) kemampuan teknologi itu sendiri.

1. Pengaruh Teori dan Penelitian

Teknologi Pembelajaran telah dipengaruhi oleh teori dari berbagai bidang kajian. Akar teori ini dapat ditemui dalam berbagai disiplin, termasuk : psikologi, rekayasa, komunikasi, ilmu komputer, bisnis, dan pendidikan secara umum.

Secara singkat, pengaruh teori dan penelitian terhadap masing-masing kawasan dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Desain

Teori sistem umum diterapkan melalui aplikasi model-model perancangan sistem pembelajaran, terutama dengan didukung logika deduktif, penilaian praktek dan pengalaman yang sukses. Hasil-hasil penelitian yang ada tentang desain sistematik dapat mendukung terhadap komponen-komponen proses perancangan.

Penelitian dan teori psikologi yang berkembang pun telah memberikan kontribusi terhadap perancangan, baik yang dikembangkan oleh kelompok aliran psikologi behaviorisme, maupun kognitivisme dan konstruktivisme. Selain itu, sumbangsih teori dan penelitian psikologi tentang motivasi juga berpengaruh terhadap proses perancangan.

Teori dan penelitian tentang Belajar-Mengajar memiliki pengaruh terhadap desain, baik dalam penentuan tugas-tugas belajar, penentuan tujuan pembelajaran, pemilihan metode dan media pembelajaran, penentuan materi pembelajaran dan sebagainya.

Teori komunikasi dan penelitian tentang pesepsi-atensi telah memberikan pengaruh terhadap proses perancangan, seperti dalam tata letak, halaman, desain layar, desain grafis visual. Studi yang dilakukan Flemming (1987) menyimpulkan tentang karakteristik-karakteristik persepsi yang relevan untuk perancangan, meliputi : pengorganisasian, perbandingan dan kontras, warna kemiripan, nilai dan informasi yang disajikan.

b. Pengembangan

Proses pengembangan bergantung pada prosedur desain, akan tetapi prinsip-prinsip utamanya diturunkan dari hakekat komunikasi dan proses belajar. Pada kawasan pengembangan tidak hanya dipengaruhi oleh teori komunikasi semata, tetapi juga oleh teori pemrosesan visual-audial, berfikir visual, dan estetika.

Teori Shannon dan Weaver (1949) tentang proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima dengan menggunakan sarana sensorik. Berikutnya, pemikiran Belo tentang Model SMCR (Sender, Massage, Channel, Receiver), dan beberapa teori lainnya dalam bidang komunikasi secara umum telah menjadi landasan dalam proses pengembangan.

Proses pengembangan juga telah dipengaruhi oleh teori berfikir visual, belajar visual dan komunikasi visual. Teori berfikir visual sangat berguna terutama dalam mencari ide untuk perlakuan berfikir visual. Menurut Seels (1993) bahwa berfikir visual merupakan manipulasi bayangan mental dan asosiasi sensor dan emosi. Arnhem (1972) menjelaskan berfikir visual sebagai fikiran kiasan dan di bawah sadar. Berfikir visual menuntut kemampuan mengorganisasi bayangan sekitar unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, atau komposisi..

Sementara itu, prinsip-prinsip estetika juga menjadi landasan dalam proses pengembangan. Molenda dan Russel (1993) mengidentifikasi unsur kunci seni yang digunakan dalam perancangan visual, yaitu : pengaturan, keseimbangan dan kesatuan.

Teori dan penelitian dalam bidang komputer yang dikombinasikan dengan teori-teori lainnya, khususnya dengan teori pembelajaran telah memungkinkan lahirnya berbagai bentuk pembelajaran, seperti pembelajaran jarak jauh yang di dalamnya memerlukan prinsip-prinsip komunikasi umum, prinsip-prinsip desain grafis, prinsip-prinsip belajar interaktif dan teknologi elektronik yang canggih.

c. Pemanfaatan

Pada mulanya gagasan tentang pemanfaatan media lebih berkonotasi pada aspek-aspek penggunaan, sehingga teori dan penelitian lebih dipusatkan pada hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan media, terutama mengkaji tentang masalah-masalah seputar penggunaan media secara optimal, kemudian berkembang dengan mencakup pada upaya difusi, karena bagaimana pun disadari bahwa pemanfaatan teknologi sangat bergantung pada proses difusi. Rogers (1962) mengeksplorasi tentang gejala difusi inovasi. Menurut Rogers, terdapat empat elemen utama yang beroperasi dalam proses difusi, yaitu : (1) bentuk atau karakter inovasi itu sendiri, (2) saluran komunikasi yang ada, (3) waktu, dan (4) sistem sosial yang berlaku. Studi Havelock (1971) tentang model pengembangan dan penyebaran dan interaksi sosial, lebih menekankan pada usaha-usaha menghubungkan para pemakai dengan sumber pengetahuan baru. Studi Lazarfield (1944) mengungkapkan tentang informasi yang sampai kepada para tokoh yang berpengaruh (opnion leaders), yang pada awalnya berupa transfer informasi sederhana, kemudian informasi itu diteruskan kepada para pengikutnya.

Dari berbagai pengalaman kegagalan inovasi teknologi pada skala besar, telah mendorong perlunya perencanaan dan perubahan keorganisasian, administratif dan individu (Cuban, 1986). Sekarang ini muncul perkembangan pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara organisasi beradaptasi dengan tantangan masyarakat modern, dengan segala sistem pemasaran yang baru, teknologi baru dan tuntutan perubahan yang terus menerus, sehingga pada akhirnya menggiring pemanfaatan sebagai implementasi dan institusionalisasi.

d. Pengelolaan

Persoalan-persoalan pengelolaan dalam bidang Teknologi Pembelajaran muncul akibat pengaruh aliran perilaku dan berfikir sistematik behaviorisme serta aspek humanisme dalam komunikasi, motivasi, dan produktivitas. Metodologi dan teori pengelolaan telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang pengelolaan sumber dan proyek, termasuk pengelolaan perubahan. Sebagian besar prinsip-prinsip pengelolaan berasal dari manajemen/administrasi bisnis, seperti dalam pengelolaan proyek, pengelolaan sumber dan efektivitas pembiayaan.

Pengelolaan proyek sebagai suatu konsep, pada awalnya diperkenalkan sebagai “cara yang efisien dan efektif dalam menghimpun suatu tim, dimana pengetahuan dan keahlian anggotanya sesuai dengan siatuasi unik dan tuntutan teknis jangka pendek yang ditentukan oleh pemberi kerja”(Rothwell dan Kazanas, 1992).

Pengelolaan sumber telah lama menjadi masalah utama bagi guru dan petugas perpustakaan media karena keduanya diharapkan sebagai manajer sumber belajar. Sekarang ini konsep sumber lebih mengacu pada pengertian sumber belajar yang lebih luas dan bukan sekedar diartikan sebagai sarana audio-visual, melainkan mencakup pula barang cetak, lingkungan dan nara sumber (Eraut, 1989)

Akhir-akhir ini mulai tumbuh perhatian mengenai efektivitas pembiayaan, sehingga kerangka teori ekonomi pun mulai digunakan dalam teknologi pembelajaran, seperti penggunaan teori ekonomi pengelolaan sumber yang dikembangkan oleh Henderson dan Quandt (1980).

Kelanjutan dari pengelolaan sumber ini adalan pengelolaan sistem penyampaian, yang berkaitan dengan sarana, seperti perangkat lunak dan keras, dukungan teknis untuk operator dan pemakai, serta karakteristik lain tentang pengoperasian sistem teknologi. Ini merupakan era baru praktek mendahului analisis teoritik tentang model.

Komponen terakhir dari masalah pengelolaan adalah pengelolaan informasi. Teori informasi melahirkan suatu landasan yang dapat digunakan untuk memahami dan memprogram komputer. Hal ini berhubungan dengan perancangan dan penggunaan jaringan komputer untuk tranmisi, penerimaan dan penyimpanan informasi. Penerapan teori informasi ini jangkauannya semakin luas, dengan mencakup berbagai bidang kehidupan.

e. Penilaian

Analisis, asesmen dan penilaian memainkan peranan penting dalam proses desain pembelajaran dan teknologi pembelajaran. Pada awalnya, penilaian sering dihubungkan dengan orientasi behavioristik. Tumbuhnya desain pembelajaran yang beorientasi pada tujuan (tercapainya perubahan perilaku), sehingga memunculkan pengujian dengan menggunakan acuan patokan. Hal ini terjadi pula dalam analisis kebutuhan atau analisis masalah.

Dengan masuknya pandangan kognitivisme dan konstruktivisme dalam desain pembelajaran, telah membawa implikasi terhadap proses analisis kebutuhan dengan cakupan yang lebih luas, yang tidak hanya berfokus pada isi semata, tetapi juga memberikan perhatian pada analisis pembelajar, analisis organisasi dan analisis lingkungan (Richey, 1992; Tessmer dan Harris, 1992). Penilaian dengan paradigma kognitif lebih banyak diorientasikan untuk kepentingan fungsi diagnostik.

2. Nilai dan Perspektif Alternatif

Pada umumya nilai-nilai yang ada akan berfungsi sebagai landasan berfikir dan berbuat. Nilai-nilai ini mungkin berasal dari pelatihan dan pengalaman kerja yang sama, pembudayaan dari teori-teori atau karakteristik pribadi orang yang tertarik terhadap Teknologi Pembelajaran . Secara khusus, nilai-nilai yang mempengaruhi terhadap perkembangan Teknologi Pembelajaran, yaitu : (a) replikabilitas pembelajaran; (b) individualisasi; (c) efisiensi; (d) penggeneralisasian proses isi lintas; (e) perencanaan terinci; (f) analisis dan spesifikasi; (g) kekuatan visual; (h) pemanfaatan pembelajaran bermedia.

Konsep paradigma alternatif dalam menemukan pengetahuan baru-baru ini telah menjadi fokus utama dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam perpektif ilmiah, paradigma alternatif ini memiliki kecenderungan untuk menerima metodologi penelitian kualitatif, penelitian fenomenologis dan gerakan ke arah psikologi kontruktivis. Teknologi pembelajaran juga merasakan pengaruh ini, sebagai contoh Striebel (1991) mengemukakan pendapatnya bahwa komputer bukanlah hanya sekedar bentuk sistem penyampaian, tetapi sebagai suatu lingkungan yang memiliki nilai-nilai tertentu dengan segala kecenderungannya. Bowers (1988) juga memberikan suatu tantangan yang meragukan bahwa teknologi betul-betul bersifat netral dan dapat dibentuk untuk memenuhi segala tujuan yang diinginkan.

Gerakan psikologi konstruktivisme telah mempengaruhi terhadap Teknologi Pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivisme bahwa disamping adanya relaitas fisik, namun pengetahuan kita tentang realitas dibangun dari hasil penafsiran pengalaman. Makna atas sesuatu tidak akan terlepas dari orang yang memahaminya. Belajar merupakan suatu rangkaian proses interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah ada, interpretasi tersebut kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.

Konstruktivisme cenderung mempersoalkan perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar ini merupakan konsteks yang kaya, baik berupa landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat otentik yang digunakan untuk memecahkan masalah. Nampaknya, ada semacam keengganan terhadap adanya perumusan pengetahuan secara rinci yang harus dikuasai, dan kengganan terhadap simplikasi atau regulasi isi, karena semua proses itu akan meniadakan arti penting konteks yang kaya yang memungkinkan terjadinya transfer.

Perspektif alternatif lain yang mempengaruhi teknologi pembelajaran adalah dari kelompok yang memandang penting atas keunggulan belajar situasional (situated learning). Belajar situasional terjadi bilamana siswa mengerjakan “tugas otentik” dan berlangsung di latar dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi bilamana pengetahuan dan keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual”. Bila orang menekankan pada belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah memahami belajar sebagai suatu proses yang aktif, berkesinambungan dan dinilai lebih pada aplikasi daripada sekedar perolehan.

Gerakan teknologi kinerja yang lebih berbasis terapan (Geis, 1986) juga mengajukan perspektif alternatif lain dalam Teknologi Pembelajaran. Para teknololog kinerja cenderung mengidentifikasi kebutuhan bisnis dan tujuan organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi kinerja sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah adalah suatu produk dari berbagai pengaruh teori seperti cybernetic, ilmu menajemen, dan ilmu kognitif (Geis, 1986).

Para teknolog kinerja tidak selalu merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan masalah. Teknolog kinerja akan cenderung memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personil, umpan balik atau alokasi sumber sebagai intervensi.

Filsafat alternatif pun turut mewarnai terhadap perkembangan teknologi pembelajaran. Filsafat alternatif ini berkembang dari kelompok post-modernis (pasca-modern), yang telah melakukan analisis kritis terhadap berbagai landasan keyakinan tradisional dan nilai-nilai dalam bidang Teknologi Pembelajaran. Dalam perspektif post-modern, bahwa teknologi pembelajaran sebagai suatu kiat sekaligus sebagai ilmu. Hlynka (1991) menjelaskan bahwa post-modern adalah suatu cara berfikir yang menjunjung prinsip keanekaragaman, temporal dan kompleks, dari pada bersifat universal, stabil dan sederhana.

Banyak implikasi filsafat post-modern untuk praktek dan teori desain sekarang ini, terutama tentang orientasi pemikiran yang menggunakan paradigma desain baru, dan tidak bersandarkan pada model desain yang sistematis. Filsafat post-modern lebih menyenangi pada hal-hal yang bersifat terbuka dan fleksibel, dari pada hal-hal yang tertutup, terstruktur dan kaku (Hlynka, 1991)

3. Pengaruh Teknologi

Kekuatan teknologi pembelajaran memang terletak pada teknologi itu sendiri. Kemajuan dalam teknologi akan banyak merubah hakekat praktek dalam bidang teknologi pembelajaran. Teknologi telah memberikan prospek munculnya stimulus yang realistik, memberikan akses terhadap sejumlah besar informasi dalam waktu yang cepat, menghubungkan informasi dan media dengan cepat, dan dapat menghilangkan jarak antara pengajar dan pembelajar (Hannfin, 1992). Perancang yang terampil dan kreatif dapat menghasilkan produk pembelajaran yang dapat memberikan keunggulan dalam : (a) mengintegrasikan media; (b) menyelenggarakan pengemdalian atas pembelajar yang jumlahnya hampir tidak terbatas, dan bahkan (c) mendesain kembali untuk kemudian disesuaikan kebutuhan, latar belakang dan lingkungan kerja setiap individu.

Teknologi, disamping mampu menyediakan berbagai kemungkinan tersedianya media pembelajaran yang lebih bervariasi, juga dapat mempengaruhi praktek di lapangan dengan digunakannya sarana berbasis komputer untuk menunjang tugas perancangan.

Sumber:

Barbara B. Seels dan Rita C. Richey.1995. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya, (terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, dkk)

MENGABDI AGAR HIDUP LEBIH BERARTI

Dalam setiap perbuatan manusia terkandung makna dan tujuan sang pelaku. Ada yang berusaha memberikan kebaikan untuk dirinya dan lingkungannya, ada yang mengeruk keuntungan tak berperasaan, dan mungkin ada juga tak ubahnya untuk iseng belaka. Semua pasti dapat kita temui, baik sadar maupun tak disadari, sengaja atau tidak, itulah fitrah manusia.

Salah satu sifat serta sikap yang mungkin ada pada setiap perbuatan kita adalah pengabdian. Manusia yang memiliki sifat mengabdi secara harfiah ia akan menghambakan dirinya untuk sesuatu, sehingga lambat laun akan timbul rasa tanggung jawab bahkan perasaan memiliki. Perwujudan dari sifat tersebut akan ditunjukkan dengan melayani semaksimal mungkin agar sesuatu yang ia abdi, yang ia cintai, dapat terjaga dan terawat dengan baik. Maka tak bisa dipungkiri bahwa pengabdian dapat menjadi salah satu warna pada setiap langkah manusia.

Kesan mengabdi bukanlah semata-mata hubungan orang yang melakukannya adalah hubungan budak dan tuannya, namun lebih kepada hubungan antar-manusia. Les Giblin (2007), dalam bukunya (The Art of Dealing With People) menyatakan bahwa hubungan antar-manusia yang dimaksud adalah membina agar ego kita dan ego mereka tetap utuh. Dan apabila kita gagal membina hubungan baik dengan orang lain niscaya hanya kegagalan-lah yang akan kita temui dalam hidup. Demikian jika kita tak pernah punya rasa untuk mengabdi, niscaya kita tak akan punya arti untuk hidup.

Di lingkup kemahasiswaan, terdapat banyak sisi yang dapat kita tinjau. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan salah satu wadah yang dapat dipilih oleh mahasiswa untuk mengabdi, dalam artian setiap anggota lembaga tersebut dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi civitas akademika kampus dimana ia berada. Bukan rahasia umum bahwa lembaga semacam BEM adalah organisasi yang bersifat nirlaba, hal inilah yang membuat siapa saja yang berada dalam sistem mampu menunjukkan seberapa besar pengabdian yang ia lakukan. Menjadi anggota BEM bukan berarti hanya sekedar menjadi seorang pelayan atau budak, yang notabene hanya disuruh-suruh saja, melainkan kita bisa berkontribusi secara nyata untuk membina hubungan antar-manusia yang baik sekaligus dapat membangun kampus yang kita cintai. Dengan kata lain, ini merupakan tahap awal, dimana kita memulai untuk menghindari kegagalan hidup.

Nilai keikhlasan dalam menjalani pengabdian sangat dibutuhkan. Bukan berarti tanpa pamrih, pengabdian mau tak mau akan jalan jika pamrih memotivasi kita, karena itulah sifat dasar manusia. Sehingga menurut Mario Teguh (dalam acara Golden Ways), pamrih yang kita harapkan tentu kecintaan serta kasih sayang Tuhan kepada kita, dan itu adalah pamrih tertinggi yang tidak ada bandingannya. Akibatnya nilai keikhlasan yang hakiki pun akan terbentuk dengan sendirinya.

Satu yang harus digarisbawahi adalah pengabdian bukanlah sifat mutlak yang harus dimiliki, namun dengan mengabdi (pada sesuatu yang kita yakini baik) setidaknya kita melangkah naik satu fase menuju perbaikan diri. Banyak manfaat yang bisa kita ambil, dan membuat hidup lebih berarti jauh lebih penting.