HIGH FRUCTOSE CORN SYRUP (HFCS)

High Fructose Corn Syrup merupakan sirup jagung yang telah mengalami proses enzimatis yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan fruktosa. Beberapa produk HFCS antara lain HFCS 90 (90 % fruktosa dan 10 % glukosa) dan HFCS 55 serta HFCS 45. Tingkat kemanisan HFCS 55 ekuivalen dengan sukrosa dan biasanya digunakan untuk pembuatan softdrink, sedangkan HFSC memiliki tingkat kemanisan yang lebih rendah dan biasa digunakan untuk perisa buah, minuman non-karbonisasi dan produk lain dengan karakteristik khusus, seperti produk-produk yang mengalami fermentasi dan memiliki titik beku rendah.

HFCS yang diolah dari jagung manis dengan kualitas tinggi memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sukrosa, yaitu:

· HFCS lebih murah dan sumber jagung yang melimpah

· HFCS lebih mudah dicampur karena berbentuk cairan

· HFCS lebih unggul karena memiliki masa simpan yang lebih lama

Dalam proses pembuatannya, pati diubah menjadi HFCS dengan 3 tahapan, yaitu:

1. Likuifikasi

Pada tahap likuifikasi, pati jagung yang berbentuk slurry (30-35 % padatan) akan mengalami hidrasi dan pemanasab yang bertujuan untuk mengurangi viskositasnya serta memotong polimer pati menjadi bagian-bagian atau polimer yang berukuran sedang (dextrin). Tujuan likuifikasi adalah mengubah suspensi pekat granula pati menjadi larutan dextrin yang larut pada viskositas rendah untuk memudahkan penanganan dalam alat-alat pemindah serta memudahkan pengubahan menjadi glukosa dengan enzim glukoamilase.

Kanji pati jagung (40-45 %) dimasukkan ke dalam pompa dan dicampur dengan enzim amilase serta cofactor Ca2+ (CaCl2) yang berfungsi untuk meningkatkan toleransi enzim amilase terhadap panas. Dalam proses ini menggunakan pemanasan jet-cooking, sehingga enzim amilase yang digunakan harus memiliki ketahanan panas yang tinggi, seperti enzim alfa-amilase yang berasal dari B.cheniformis yang memiliki ketahanan panas hingga 1150C.

Pemanasan dalam jet-cooker dengan injeksi uap 106-1070C selama 5-10 menit atau dengan menggunakan suhu tinggi 120-1300C selama beberapa detik. Setelah pemanasan suspensi pati didinginkan pada suhu kurang dari 900C dan dipertahankan selama 1-3 jam untuk waktu hidrolisis. Produk dari proses likuifikasi adalah campuran dari beberapa oligosakarida yang mengandung sedikit mono, di-, dan trisakarida yang biasa digunakan dalam sweetening process.

2. Sakarifikasi

Tujuan dari proses ini adalah untuk mengubah oligosakarida yang telah dihasilkan menjadi D-glukosa sebanyak mungkin dengan menggunakan enzim glukoamilase (99 %). Semakin banyak enzim yang digunakan, semakin cepat hidrolisa oligosakarida berlangsung. Akan tetapi, enzim yang berlebihan akan menyebabkan reaksi pembalikkan menghasilkan maltose dan maltotriosa. Pada proses ini, slurry pati hasil likuifikasi juga ditambahkan asam hidroklorat sampai pH 4,0-4,5 yang merupakan pH optimum aktivitas enzim glukoamilase. Proses sakarifikasi berlangsung selama 48 – 72 jam.

3. Isomerisasi

Sebelum tahap isomerasi, slurry pati hasil sakarifikasi dimurnikan dengan filtrasi, melewatkannya pada karbon aktif, ion_exchange dan pengentalan kembali dengan evaporator. Semua tahapan tersebut bertujuan untuk memurnikan slurry pati dan menghilangkan serat-serat jagung dan residu protein atau mineral yang tidak dibutuhkan lagi.

Pada tahap isomerasi, D-glukosa yang dihasilkan dari proses sebelumnya diubah menjadi D-fruktosa dengan enzim glucose isomerase yang berlangsung pada suhu 600C dan pH 7-8. Suhu yang berlebihan akan menyebabkan glukosa dan fruktosa yang dihasilkan terdekomposisi menjadi asam organic yang dapat menimbalkan warna yang tidak diinginkan pada produk ini. Banyaknya fruktosa yang dihasilkan akan menunjukkan tingkat kemanisan HFCS yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar fruktosanya, semakin manis HFCS yang dihasilkan.

Pustaka:

· Winarno. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

· www.wikipedia.com & www.google.com

REAKSI MAILLARD

Pada pemanggangan biskuit, penggunaan jenis gula yang berbeda memberikan warna coklat yang berbeda pula. Warna coklat dominan atau paling tinggi intensitasnya dimiliki oleh biskuit yang ditambahkan dengan sukrosa + fruktosa, kemudian sukrosa + laktosa, dan yang paling kecil intensitasnya adalah biskuit yang hanya ditamnbahkan dengn sukrosa.

Warna coklat pada biskuit merupakan senyawa melanoidin yang dihasilkan dari rekasi Maillard. Reaksi Maillard berlangsung dengan tahapan-tahapan berikut:

1. Suatu aldosa bereaksi bolak-balik dengan asam amino atau gugus amino dari protein sehingga menghasilkan basa Schiff.

2. Perubahan terjadi menurut reaksi Amadori sehingga menjadi amino ketosa.

3. Dehidrasi dari hasil reaksi Amadori membentuk turunan furfuraldehid, misalnya pentosa akan menghasilkan senyawa furfural, sementara heksosa akan menghasilkan hidroksimetil furfural.

4. Proses dehidrasi selanjutnya menghasilkan metil-alfa-dikarbonilyang diikuti penguraiannya menghasilkan reduktor-reduktor dan alfa-dikarboksil, seperti metilglioksal, asetol dan diasetil.

5. Aldehid-aldehid aktif hasil tahapan 3 dan 4 akan terpolimerisasi tanpa atau dengan asam amino membentuk senyawa coklat yang disebut melanoidin.

Dari kelima tahapan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi intensitas warna coklat yang dihasilkan adalah kecepatan reaksi masing-masing tahapan.

Ketiga jenis biskuit yang disebutkan sebelumnya menggunakan substrat yang berbeda, yaitu sukrosa, sukrosa + fruktosa, sukrosa + laktosa. Ketiga jenis gula tersebut memiliki struktur yang berbeda. Sukrosa dan laktosa merupakan disakarida yang masing-masing tersusun dari fruktosa + glukosa dan galaktosa + glukosa. Sementara fruktosa adalah monomer dengan 6 atom carbon yang memiliki gugus keton sehingga disebut pula sebagai gula ketosa.

Gula ketosa lebih mudah mengalami dehidrasi daripada gula aldosa, hal ini dikarenakan pada gula ketosa, terdapat dua alkil yang membuatnya lebih mudah membentuk stuktur berantai tertutup yang disebut dengan hidroksimetil furfural daripada struktur aldosa yang memiliki gugus karbonil pada ujung rantainya. Semakin cepat terbentuknya senyawa furfural ini meningkatkan kecepatan reaksi pembentukan melanoidin, sehingga intensitas warna coklat yang dihasilkan juga lebih tinggi dibandingkan dengan gula lain yang digunakan pada ketiga jenis biskuit tersebut. Sementara untuk disakarida reaksi cenderung berlangsung lebih lambat karena tersusun dari 2 monomer yang memberikan struktur yang lebih panjang.

Selain itu, sukrosa bukan merupakan gula reduksi sehingga sulit berekasi dengan asam amino membentuk basa Schiff. Jika pada tahap awal reaksi telah berlangsung lambat, maka untuk tahap reaksi selanjutnya juga menjadi lebih lambat. Laktosa walapun termasuk gula reduksi, namun kemampuan mereduksinya lebih lemah dari monomernya, sehingga rekasi dengan asam amino pada tahap 1 juga berlangsung lebih lambat dari pada penambahan dengan fruktosa, namun berlangsung lebih cepat dari pada sukrosa, sehingga intensitas warna coklat yang dihasilkan juga lebih tinggi daripada penggunaan dengan sukrosa.

Pustaka:

  • Winarno. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
  • www.wikipedia.com & www.google.com

PEKTINASE DALAM INDUSTRI VANILI

Pektinase merupakan enzim yang mendegradasi pectin yang umumnya terdapat pada dinding sel. Pektinase biasanya ditemukan pada jamur atau mikroorganisme yang tumbuh pada buah-buah yang mulai mengalami pembusukan.

Aktivitas pektinase tersebut dapat digunakan untuk mengekstraksi vanili dari buah segarnya dengan kadar yang lebih tinggi dari tanpa penggunaan enzim. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pektinase komersial merupakan enzim kasar selulase dari Aspergillus sp. Yang memproduksi endo-β-glukanase dan β-glukosidase dalam jumlah besar, dengan sedikit ekso-β-glukanase.

Selain itu, pektinase komersial mengandung aktifitas karbohidrase lainnya yakni arabinase, β-glukanase, hemiselulase dan silanase. Hal ini memperkuat dugaan bahwa glukosa di dalam ekstrak vanili tidak hanya bersumber dari prekursor vanilin, tapi juga berasal dari komponen karbohidrat (termasuk serat pangan) buah vanili segar.

Perbedaan fungsi enzim ini sangat berhubungan dengan spesifisitasnya dan hal ini sangat menguntungkan bagi industri pangan. Menurut Tucker (1995), mekanisme yang jelas sebenarnya belum diketahui pasti, tapi konsep kunci dan anak kunci mengindikasikan bahwa bentuk sisi aktif enzim secara struktur harus cocok dengan molekul substrat. Ini berarti bahwa enzim pada umumnya memiliki spesifisitas yang tinggi untuk substratnya, sehingga mereka dapat mengkatalisis substrat. Misalnya glukosaoksidase (EC.1.1.3.4) mengkatalisis konversi D- glukosa menjadi D-glukonat.

Spesifisitas dapat juga terjadi pada tipe ikatan. Misalnya α-amilase (EC. 3.2.1.1) selektif terhadap ikatan α antara residu glukosa dalam pati. Sedangkan selulase (EC. 3.2.1.4) selektif terhadap ikatan β antara molekul glukosa dalam selulosa. Enzim yang berbeda dapat juga selektif terhadap cara mereka berinteraksi dengan molekul substrat yang sama. Misalnya kerja α- amilase dan β-amilase (EC. 3.2.1.2) terhadap pati menghasilkan pembentukan glukosa dan maltose.

Adanya komponen-komponen enzim lain yang juga terdapat pada pektinase menyebabkan suatu keseimbangan dan system kerja yang saling mendukung sehingga mampu meningkatkan kadar vanili.

BIOETANOL TENAGA YANG TERBARUKAN

Mungkin pembaca bertanya, kenapa bioetanol yang dikembangkan Brazil? Berdasarkan beberapa sumber, bioetanol adalah bahan bakar yang cukup ramah terhadap lingkungan. Dikatakan ramah lingkungan, karena bahan bakar itu memiliki nilai oktan lebih tinggi dari bensin sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif, seperti metil tertiary butyl ether (MTBE) yang menghasilkan timbal (Pb) pada saat pembakaran.

Di samping itu, bioetanol merupakan bahan bakar yang tidak beracun, tidak mengakumulasi gas karbondioksida (CO2) dan relatif kompatibel dengan mobil bensin atau diesel. Kelebihan lain dari bioetanol adalah dihasilkan melalui proses yang cukup sederhana, yang inti prosesnya adalah fermentasi menggunakan mikrobia tertentu. Diperkirakan dalam proses produksinya mengeluarkan biaya yang sama, atau lebih rendah dibandingkan dengan pengolahan bensin.

Bioetanol adalah alternatif dari bahan bakar fosil yang jauh lebih ramah terhadap lingkungan. Bahan bakar bioetanol biasa digunakan dalam mesin pembakaran internal, baik itu dalam bentuknya yang murni maupun sebagai zat aditif.

Memproduksi bio-ethanol (alcohol primer) dari bahan baku pati (pati jagung, ketela, sagu dll) atau karbohidrat, diproses melalui beberapa tahap., yaitu dengam mengubah pati menjadi gula (glukosa) kemudian difermentasi menjadi etanol oleh mikroorganisme sehinga diperoleh bioethanol. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi bio-ethanol ditunjukkan pada tabel dibawah ini.

Tabel Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan Tetes Menjadi Bio-Ethanol (Nurdyastuti, 2005)

Bahan Baku

Kandungan Gula dalam bahan baku (Kg)

Jumlah Hasil Konversi

Bioetanol (L)

Perbandngan Bahan baku : bioetanol

Jenis

Konsumsi

Ubi Kayu

1000

250-300

166,6

6,5:1

Ubi jalar

1000

150-200

125

8:1

Jagung

1000

600-700

200

5:1

Sagu

1000

120-160

90

12:1

Tetes

1000

500

250

4:1

Proses konversi pati menjadi bioetanol :

1. Konversi Karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air

Dilakukan dengan penambahan air dan enzyme sehingga diperoleh glukosa dan air.

2. Konversi Glukosa menjadi Bioetanol

Proses konversi glukosa menjadi etanol dilakukan dengan penambahan ragi (yeast) biasanya digunakan Saccaromyces Cereviceae. Akhir-akhir ini dikembangkan penelitian biologi molekuler untuk merekayasa DNA yeast hingga diperoleh yeast yang toleran terhadap etanol kadar tinggi dan mampu menghidrolisis pati langsung menjadi bioetanol. Riset ini sudah dilakukan di departemen kimia Unair.Sehingga departemen kimia uanir sudah mempunyai koleksi yeast yang mampu menghidrolisis pati langsung menjadi bioetanol.

Berdasarkan definisi Wikipedia, biodiesel merupakan bahan bakar berbasis minyak yang berasal dari sumber terbarukan. Sumber itu bisa minyak tetumbuhan atau lemak hewani. Sejauh ini biodiesel yang dikembangkan adalah minyak jarak, crude palm oil (CPU), dan gasohol. Yang terakhir merupakan paduan gasoline alkohol, yakni hasil percampuran bensin biasa dengan hasil olahan singkong.

Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari alkil ester rantai pendek yang diperoleh melalui trans-esterifikasi minyak nabati atau lemak hewan. Nama jarak pagar, malapari, sawit tentunya sudah familiar bagi kita sebagai sumber biodiesel yang populer di Indonesia saat ini. Namun, pernahkah teman-teman mendengar biodiesel dari alpukat? Buah yang sering kita konsumsi dalam bentuk juice atau potongan-potongan kecil dalam es campur..

Dalam pembuatan Biodiesel dari biji Alpukat dengan proses Transesterifikasi ini dibagi menjadi 3 tahap, diantaranya (1) Tahap Persiapan, pada tahap ini dilakukan perlakuan terhadap biji Alpukat sebelum diambil minyaknya menggunakan proses ekstraksi dan distilasi. Pada tahap ini hal yang dilakukan adalah penggilingan biji alpukat dan pemanasan biji Alpukat untuk mengurangi kadar airnya. (2) Tahap Percobaan, tahap ini merupakan tahap utama dalam pembuatan Biodiesel (methyl ester). Hal yang dilakukan adalah menentukan kadar katalis dengan menghitung jumlah NaOH yang dititrasi, membuat sodium metoksida dan selanjutnya proses Transesterifikasi yang dilanjutkan dengan pencucian biodiesel. (3) Tahap Penyelesaian, merupakan tahap untuk menganalisa sifat biodiesel yang terdiri dari uji flash point, viscositas dan densitas. Dari percobaan yang kami lakukan, dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu reaksi maka semakin banyak yield yang dihasilkan, dari percobaan yang dilakukan dihasilkan Biodiesel dari bahan baku biji Alpukat (Persea Amerikana) menggunakan proses Transesterifikasi dengan kualias yang kurang sesuai dengan standar Pertamina dikarenakan viskositasnya terlalu tinggi.

Teknologi gasifikasi adalah merupakan suatu bentuk peningkatan pendayagunaan energi yang terkandung di dalam bahan biomassa melalui suatu konversi dari bahan padat menjadi gas dengan menggunakan proses degradasi termal material-material organik pada temperatur tinggi di dalam pembakaran yang tidak sempurna. Proses ini berlangsung di dalam suatu alat yang disebut gasifier. Ke dalam alat ini dimasukkan bahan bakar biomassa untuk dibakar di dalam reaktor (ruang bakar) secara tidak sempurna. Dengan kata lain, proses gasifikasi merupakan proses pembakaran parsial bahan baku padat, melibatkan reaksi antara oksigen dengan bahan bakar padat. Uap air dan karbon dioksida hasil pembakaran direduksi menjadi gas yang mudah terbakar, yaitu karbon monoksida (CO), hidrogen (H2) dan methan (CH4). Gas-gas ini dapat dipakai sebagai pengganti BBM guna berbagai keperluan seperti menggerakkan mesin tenaga penggerak (diesel atau bensin), yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik, menggerakkan pompa, mesin giling maupun alat alat mekanik lainya. Selain itu gas ini juga dapat dibakar langsung untuk tanur pembakaran, mesin pengering, oven dan sebagainya yang biasanya memerlukan pembakaran yang bersih. Adapun tipikal komposisi gas yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

Gasifikasi

Gasifikasi merupakan suatu proses untuk mengkonversi material karbon seperti batubara, minyak dan biomassa kedalam karbon monoksida dan hidrogen dengan mereaksikan material pada temperatur tinggi dengan mengkontrol oksigen. Hasil campuran gas disebut gas sintesis (synthesis gas) atau biasa disebut dengan syngas. Gasifikasi merupakan metode yang efisien dalam mengkonversi material orgranik menjadi energy dan merupakan aplikasi yang bersih.

Keuntungan dari proses gasifikasi ini adalah sangat efisien bila dibandingkan dengan pembakaran langsung. Gas sintetik memiliki dua keuntungan yaitu bisa dibakar langsung menggunakan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) ataupaun diekstak menjadi methaanol dan hidrogen.

Pirolisis

Pirolisis merupakan suatu proses dekomposisi material organic dengan panas tanpa mengandung oksigen. Bila oksigen ada pada suatu reactor pirolisis maka akan bereaksi dengan material sehingga membentuk abu(ash). Untuk menghilangkan oksigen, pada proses pirolisis biasanaya di bantuk oleh aliran gasn inner sebgai fungsi untuk mengikat oksigen dan mengeluarkan dari reactor.

Produk pirolisis berupa gas, fluida carir dan padat berupa carbon dan abu. Gas hasil pirolisis dapat diekstrak menjadi bahan bakar gas. Sedangkan carbon dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar padat.

MENGABDI AGAR HIDUP LEBIH BERARTI

Dalam setiap perbuatan manusia terkandung makna dan tujuan sang pelaku. Ada yang berusaha memberikan kebaikan untuk dirinya dan lingkungannya, ada yang mengeruk keuntungan tak berperasaan, dan mungkin ada juga tak ubahnya untuk iseng belaka. Semua pasti dapat kita temui, baik sadar maupun tak disadari, sengaja atau tidak, itulah fitrah manusia.

Salah satu sifat serta sikap yang mungkin ada pada setiap perbuatan kita adalah pengabdian. Manusia yang memiliki sifat mengabdi secara harfiah ia akan menghambakan dirinya untuk sesuatu, sehingga lambat laun akan timbul rasa tanggung jawab bahkan perasaan memiliki. Perwujudan dari sifat tersebut akan ditunjukkan dengan melayani semaksimal mungkin agar sesuatu yang ia abdi, yang ia cintai, dapat terjaga dan terawat dengan baik. Maka tak bisa dipungkiri bahwa pengabdian dapat menjadi salah satu warna pada setiap langkah manusia.

Kesan mengabdi bukanlah semata-mata hubungan orang yang melakukannya adalah hubungan budak dan tuannya, namun lebih kepada hubungan antar-manusia. Les Giblin (2007), dalam bukunya (The Art of Dealing With People) menyatakan bahwa hubungan antar-manusia yang dimaksud adalah membina agar ego kita dan ego mereka tetap utuh. Dan apabila kita gagal membina hubungan baik dengan orang lain niscaya hanya kegagalan-lah yang akan kita temui dalam hidup. Demikian jika kita tak pernah punya rasa untuk mengabdi, niscaya kita tak akan punya arti untuk hidup.

Di lingkup kemahasiswaan, terdapat banyak sisi yang dapat kita tinjau. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan salah satu wadah yang dapat dipilih oleh mahasiswa untuk mengabdi, dalam artian setiap anggota lembaga tersebut dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi civitas akademika kampus dimana ia berada. Bukan rahasia umum bahwa lembaga semacam BEM adalah organisasi yang bersifat nirlaba, hal inilah yang membuat siapa saja yang berada dalam sistem mampu menunjukkan seberapa besar pengabdian yang ia lakukan. Menjadi anggota BEM bukan berarti hanya sekedar menjadi seorang pelayan atau budak, yang notabene hanya disuruh-suruh saja, melainkan kita bisa berkontribusi secara nyata untuk membina hubungan antar-manusia yang baik sekaligus dapat membangun kampus yang kita cintai. Dengan kata lain, ini merupakan tahap awal, dimana kita memulai untuk menghindari kegagalan hidup.

Nilai keikhlasan dalam menjalani pengabdian sangat dibutuhkan. Bukan berarti tanpa pamrih, pengabdian mau tak mau akan jalan jika pamrih memotivasi kita, karena itulah sifat dasar manusia. Sehingga menurut Mario Teguh (dalam acara Golden Ways), pamrih yang kita harapkan tentu kecintaan serta kasih sayang Tuhan kepada kita, dan itu adalah pamrih tertinggi yang tidak ada bandingannya. Akibatnya nilai keikhlasan yang hakiki pun akan terbentuk dengan sendirinya.

Satu yang harus digarisbawahi adalah pengabdian bukanlah sifat mutlak yang harus dimiliki, namun dengan mengabdi (pada sesuatu yang kita yakini baik) setidaknya kita melangkah naik satu fase menuju perbaikan diri. Banyak manfaat yang bisa kita ambil, dan membuat hidup lebih berarti jauh lebih penting.