Sudah 62 tahun bangsa Indonesia merdeka. Selama itu pula bangsa Indonesia menderita. Pasalnya banyak orang yang merasa bahwa Indonesia tidak sepenuhnya mendapatkan kemerdekaan secara hakiki. Ada bentuk yang lain dari penjajahan yang dilakukan oleh asing. Bentuk yang bahkan implikasinya lebih dahsyat ketimbang bom atom sekalipun, yakni penjajahan dari segi ekonomi.
Dalam sejarahnya, orang pribumi Indonesia memang tidak pernah menyerah dengan segala bentuk penjajahan. Selama itu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, selama itu pula mereka bergerak melawan. Hal tersebut terbukti dari banyaknya persatuan dagang yang didirikan oleh nenek moyang kita. Tujuannya tidak lebih dari melindungi aset-aset yang dimiliki bangsa untuk nantinya diwariskan kepada cucu mereka.
Kini persoalannya tidak hanya sebatas kongsi-kongsi dagang tersebut. kita telah dijajah sekali lagi dan seharusnya kita sadar akan hal itu. Penjajahan bukan dalam bentuk perlawanan secara fisik melainkan penjajahan yang menyentuh sendi-sendi perekonomian kita. Krisis moneter pada tahun 1997 adalah salah satu akibat besar yang terjadi pada bangsa ini. Ihwal dari peminjaman utang luar negri berimplikasi kelaparan tiada henti.
Proses pengglobalisasian individu juga semakin merambah pada setiap mental anak bangsa. Bagaimana bisa kita menginggalkan seseorang yang lemah ada di belakang kita tanpa kita membantunya untuk dapat ada di depan. Apakah semboyan Tut Wuri Handayani kini tidaklah berarti? Apakah pemerintah berjanji tak ditepati? Atau malah pemudanya menutup diri? Hal teknis seperti itulah yang terkadang tidak pernah kita perhatikan. Bukan berarti kita membela untuk malas lantas bangsa dibiarkan menjadi bodoh, tetapi itu semua termasuk hal yang prinsip dimiliki bangsa berbudaya Timur.
Berdalih bahwa aset-aset nasional akan dikembalikan pemerintah pun melakukan langkah privatisasi perusahaan swasta asing. Dalam hal ini, kepemilikan perusahaan akan berganti status menjadi milik “bangsa Indonesia”. Namun, bangsa Indonesia yang mana? Mengingat para pejabat konglomerat pun berstatus bangsa Indonesia. Lalu dimanakah nilai-nilai esensial untuk membela yang lemah? Apakah kini kita masih melihat bahwa hal demikian sama jika dilihat secara kontekstual? walaupun seyogyanya semua aset strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikelola oleh negara untuk rakyat Indonesia.
Konsep nasionalisme merupakan hal abstrak ketika rasa patriotis tersebut memang sudah hilang dari hati seseorang. Sudah barang tentu sudut pandang ekonomi bukan segalanya, namun setidaknya hal demikian dirasa mampu mewakili kenyataan yang ada. Terkadang saudara kita dibelahan bumi Indonesia yang lain tidak membutuhkan hal yang terlalu rumit selain kesejahteraan. Dan kita semua sepakat bahwa sejahtera erat kaitannya dengan kondisi perekonomian yang stabil (contoh; masyarakat Papua).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar