SOLUSI KRISIS PANGAN
Memahami krisis pangan, sejatinya kita akan memahami masalah domestik semata. Hal ini dikarenakan pangan termasuk komoditi pasar yang dapat diusahakan untuk mendapatkan keuntungan(profit). Sehingga walaupun secara global produksi pangan bisa dibilang melebihi kebutuhan kalori rata-rata(Rudolf H Strahm), hal ini tidak terlalu berpengaruh. Karena penyediaan komoditas pangan ini ditentukan dari kemampuan masing-masing negara dalam menyediakannya.
Ketersediaan pangan sangat krusial bagi tiap-tiap warga negara. Tanpa konsumsi pangan yang memadai, manusia tidak akan mungkin hidup. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem yang benar-benar solutif yang menjamin ketersediaan pangan bagi tiap-tiap warga negara.
Sebagai suatu komoditi pasar yang membuka peluang investasi secara bebas, maka supaya ketersediaan komoditi ini berjalan lancar, dibutuhkan kondisi pasar yang stabil. Hal ini untuk membuat investasi dalam komoditi ini tetap bergairah. Sehingga produksi pangan berjalan lancar. Hanya saja ketersediaan produk pangan di pasar yang dapat terjadi melalui dua hal, yaitu produksi domestik maupun impor bahan pangan, juga harus memperhatikan masalah ketergantungan negara. Meskipun ketersediaan pangan bisa diatasi dengan impor bahan pangan, masalah penyediaan bahan pangan bisa terjadi ketika akses impor sewaktu-waktu terbatas. Baik diakibatkan oleh ketersediaan produk luar negeri yang minim, maupun kemampuan impor yang kecil karena kurang tersedianya modal. Oleh karena itu untuk menjamin konsumsi pangan masyarakat, produksi bahan pangan domestik sebisa mungkin mencukupi kebutuhan, agar tidak ada permasalahan yang diluar kendali negara.
Untuk menjaga dan meningkatkan produksi pangan domestik, perlu ada gairah produksi yang tinggi. Ketersediaan aspek-aspek produksinya pun harus terjaga. Baik dari segi faktor produksi seperti lahan, benih, pupuk; maupun kemampuan mengembangkan usaha seperti melakukan modernisasi peralatan produksi, hinga riset benih unggul. Selain itu keleluasaan pasar pun harus harus terjamin, agar produk-produk pangan dapat bersaing secara bebas sehingga terjadi keseimbangan pasar. Tingkat produksi pun dapat terkontrol.
Usaha untuk menjaga dan meningkatkan produksi pangan domestik agar mencukupi kebutuhan masyarakat, telah dilakukan dengan berbagai cara. Dalam ideologi sosialisme, dimana produksi dan konsumsi berjalan secara kolektif, paradigma pangan pun berubah menjadi komoditi non-profit. Sehingga produksi pangan hanya disalurkan secara langsung kepada masyarakat sesuai jatah tiap-tiap warga negara. Artinya pasar faktor produksi dan pasar konsumsi dikendalikan secara paksa leh Pemerintah. Pada revolusi budaya RRC yang digagas Mao Tse Tung, metode ini mengalami kegagalan karena rencana produksi baja yang irasional yang juga dilaksanakan secara kolektif. Rencana produksi baja ini ikut menghambat produksi pangan karena minimnya alat-alat pertanian akibat kebijakan backyard furnace. Kebijakan ini mengharuskan rakyat Cina dalam komunal-komunal yang dipimpin oleh seorang kader, meningkatkan produksi baja dengan melebur berbagai macam perkakas untuk mencapai ambisi produksi baja, yang akhirnya hanya menghasilkan baja berkualitas buruk dan cepat rusak. Kegagalan produksi pangan ini diperparah dengan aksi menyelamatkan muka Mao Tse Tung dengan tetap mengekspor padi. Kebijakan ini menyebabkan 20-30 juta rakyat Cina meninggal dunia akibat kelaparan yang meluas.
Sedangkan produksi pangan Uni Sovyet sempat mendapatkan masalah ketika peristiwa dekulakisasi. Usaha pengkolektifan produksi pangan mendapatkan tentangan keras dari para petani pemilik lahan. Bahkan mereka lebih suka membunuh ternak dan menghancurkan peralatan pertanian mereka daripada menyerahkannya kepada kepemilikan kolektif. Setelah usaha pengkolektifan pertanian berhasil dilakukan, produksi pangan Sovyet pun dijalankan dengan pengorganisasian berskala besar dengan mekanisasi yang tinggi teknologi. Meskipun begitu produksi panagn relatif tidak efektif. Ini terkuak dari data statistik Uni Sovyet yang menyebutkan ¼ nilai produksi pangan sovyet berasal dari lahan pribadi petani yang dibebaskan penanamannya yaitu hanya 2% dari total lahan pertanian yang subur di Uni Sovyet(Hendrick Smith, The Russians;1976). Ini terjadi karena produktivitas buruh yang rendah karena gairah produksi yang ditekan.
Dalam ideologi kapitalisme, produksi pangan seharusnya berjalan secara laissezz faire. Seluruh aset poduksi pangan mulai dari lahan, perkakas, benih pupuk, hingga hasilnya diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Akan tetapi pada prakteknya saat ini, tidak ada negara yang menganut kapitalisme, menjalankan produksi di bidang pangan secara laissezz faire murni. Amerika Serikat misalnya, setelah berhasil menggolkan NAFTA, produk pangan mereka didalam negeri harus bersaing dengan produk pangan dari meksiko. Kondisi ini menyebabkan para petani AS kesulitan. Sehingga akhirnya Kongres AS memberikan proteksi pasar bagi para petani AS dan juga pemberian subsidi(Stiglitz, Making Globalization Works). Dengan kekonsistenan subsidi untuk petani, serta proteksi pasar yang terus berlangsung meski sudah terdapat pakta perdagangan bebas, produk pangan AS pun merajalela.
Dalam ideologi Islam sektor kekayaan dibagi kedalam tiga bagian. Komoditi pangan terletak pada sektor kekayaan pribadi yang bergulir dengan mekanisme pasar syariah. Oleh karena itu pangan diusahakan sebagai komoditi yang dapat memberikan keuntungan. Akses pasar dari produsen diberikan seluas-luasnya sehingga proses distribusinya dapat berjalan sesuai prinsip-prinsip aqad jual beli. Dalam hal ini harga pangan ditentukan dari tawar menawar antara penjual dan pembeli. Proses tawar menawar harus berjalan murni, sehingga peluang-peluang spekulasi seperti dengan mengadakan penimbunan diharamkan.
Untuk menjaga kondisi pasar pangan agar tidak terganggu pasar sektor komoditas yang lain, diberlakukan undang-undang pertanahan yang mengharamkan pengubahan lahan pertanian menjadi lahan bangunan. Serta memperbolehkan lahan-lahan mati untuk diusahakan. Selain itu aqad kepemilikan lahan pangan disatukan dengan aqad produksinya. Sehingga lahan yang ditelantarkan akan dicabut hak kepemilikannya dan diberikan secara cuma-cuma kepada orang yang mau menghidupkannya.
Kemampuan pengembangan usaha pertanian dapat dilakukan secara mandiri, dimana setiap penduduk mendapatkan akses pendidikan seluas-luasnya. Oleh karena itu petani pun dapat mengembangkan sendiri usahanya. Meskipun begitu pemerintah juga dapat memberikan bantuan subsidi kepada para petani demi kemaslahatan masyarakat. Bantuan ini berasal dari sektor kekayaan yang dikuasai negara. Akses ekspor pangan diberikan seluas-luasnya sesuai kondisi pasar diluar negeri. Adapun akses impor, ini ditentukan dari sikap negara pemasoknya. Apabila negara pemasok ini memberlakukan proteksi pasar pangan di negaranya, maka terhadap negara tersebut pemerintah Islam memberlakukan hal yang sama. Adapun orang-orang yang miskin, yang tidak mampu membeli bahan pangan dipasar, maka ini tidak termasuk perkara ketersediaan pangan, melainkan perkara kemiskinan. Terhadap orang-orang miskin ini pemerintah Islam wajib memberikan santunan secara langsung dengan menggunakan sektor kekayaan milik negara, selain dari dana zakat yang memang wajib disalurkan langsung kepada ashnaf-ashnafnya.
Carut-marutnya politik produk pangan terutama beras di Indonesia menyebabkan tidak menentunya masa depan disektor ini. Penguasaan distribusi oleh pedagang-pedagang besar, kuatnya para tengkulak, serta kebijakan Bulog dan HPP yang justru merugikan petani menyebabkan peluang krisis pangan selalu ada. Oleh karena itu hal-hal seperti diatas perlu ditiadakan. Petani harus dilindungi dan ditingkatkan gairah produksinya dengan kebijakan-kebijakan pangan yang berdasarkan Ideologi Islam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar