KEBIJAKAN IMPOR DAGING SAPI DAN KETAHANAN PANGAN

Belum lama ini pemerintah melalui Departemen Pertanian berencana akan membuka impor daging sapi dari negara Brasil dan Uruguay. Bahkan, untuk meninjau kemungkinan melakukan impor daging sapi tersebut pemerintah telah mempersiapkan tim khusus pada akhir April 2008. Upaya ini mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Hal ini sangat beralasan mengingat Brasil dan Uruguay menurut OIE (Office Internationale des epizootica) atau badan kesehatan hewan dunia merupakan negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Sedangkan Indonesia sejak tahun 1990 telah dinyatakan bebas PMK tanpa vaksinasi oleh OIE. Status bebas ini harus tetap dipertahankan dan diupayakan dengan menerapkan sistem kewaspadaan dini secara konsisten dan di siplin.

PMK dengan nama lain Foot and Mouth Disease (FMD) atau Aphthae Epizooticae (AE) merupakan penyakit yang sangat kontagius yang disebabkan oleh virus yang tergolong ke dalam genus Aphthovirus dari Famili Picornaviridae. Virus ini berbentuk ikosahedral, tidak berenvelop, berdiameter 27 nm, genomnya RNA berserat tunggal (single stranded RNA). Virus PMK sangat tahan dan dapat bertahan hidup dengan baik pada bahan organik seperti darah, feses, dan kondisi kelembaban tinggi, serta rendahnya sinar matahari serta mampu menyebabkan sakit pada hewan dengan tingkat kesakitannya (morbiditas) mencapai 100%. Pada umumnya penyakit ini menyerang hewan berkuku genap, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, gajah, jerapah, dan rusa.

Kebijakan Impor

Kebijakan impor dilakukan dalam rangka mendukung kekurangan produksi dalam negeri. Sampai saat ini Indonesia masih kekurangan pasokan daging sapi hingga 35% atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan 385 ribu ton. Defisit populasi sapi diperkirakan 10,7% dari populasi ideal atau sekitar 1,18 juta ekor. Kekurangan pasokan ini disebabkan sistem pembibitan sapi potong nasional masih parsial sehingga tidak menjamin kesinambungan. Padahal, titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah pembibitan.

Data Direktorat Jenderal Peternakan menyebutkan neraca produksi daging sapi nasional pada 2008 diperkirakan hanya memenuhi 64,9% dari proyeksi kebutuhan konsumsi sepanjang tahun ini atau Indonesia masih kekurangan 135.110 ton (35,1%) dari total kebutuhan daging. Dengan populasi 11,26 juta ekor produksi daging sapi nasional diperkirakan mencapai 249.925 ton dengan kebutuhan konsumsi daging diperkirakan mencapai 385.035 ton. Sementara itu Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mencatat, setiap tahun masyarakat Indonesia membutuhkan sekitar 350.000 sampai 400.000 ton daging sapi. Jumlah itu setara dengan sekitar 1,7-2 juta ekor sapi potong. Dari jumlah tersebut hingga saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30% daging sapi.

Pembangunan Peternakan Nasional

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar se-Asia Tenggara yang memiliki potensi sumber daya alam yang cukup melimpah. Potensi alam yang beriklim tropis dan kekayaan lahan yang luas, sangat memungkinkan bagi negara ini untuk membangun usaha sektor pertanian (agriculture sector), khususnya sub sektor peternakan. Pembangunan peternakan sebagai bagian dari pembangunan sistem agribisnis nasional (sisagrinas) menjadi bagian penting dalam mewujudkan ketahananan dan swasembada pangan bagi 223 juta lebih jumlah penduduk Indonesia. Khususnya kebutuhan akan protein hewani seperti daging, susu dan telur.

Selain itu, peran pembangunan peternakan nasional juga sangat signifikan sebagai sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 3,15 juta orang dan mampu menghidupi lebih dari 10 juta orang masyarakat Indonesia dengan investasi pada tahun 2007 tidak kurang dari Rp 4,5 triliun. Sektor peternakan diharapkan dapat menekan angka kemiskinan yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2007 mencapai 3,95 juta jiwa.

Melihat permasalahan tersebut pembangunan peternakan nasional harus secara konsisten dan berkesinambungan diarahkan untuk mampu memenuhi kebutuhan pangan akan daging. Upaya pemerintah melalui Departemen Pertanian dengan menerapkan kebijakan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) tahun 2010 harus didukung semua pihak dan segera diwujudkan tanpa mengedepankan semangat impor. Apalagi impor tersebut dilakukan dari negara yang belum bebas penyakit tertentu. Dampak Importasi Daging Sapi dari Negara Belum Bebas PMK Kebijakan importasi daging sapi dari negara yang belum bebas penyakit, terutama PMK akan berdampak cukup besar terhadap pembangunan peternakan nasional. Baik dampak secara langsung maupun tidak langsung.

Adapun dampak akibat importasi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

Pertama, berpeluang masuknya kembali PMK di Peternakan Indonesia. Sejak awal tahun 1990-an hingga saat ini Indonesia masih dinyatakan bebas dari PMK oleh OIE. Dengan demikian PMK merupakan penyakit eksotik yang perlu diwaspadai. Kebijakan impor daging dengan tanpa memperhatikan kondisi PMK dari negara asal tentu sama saja dengan memasukkan (mengimpor) penyakit ke Indonesia. Hal ini sangat beralasan karena tidak ada jaminan bahwa daging yang di impor adalah daging yang benar-benar bebas dari virus PMK. Selain itu, jika mengacu kepada kondisi sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) dan sistem kesehatan masyarakat veteriner (siskesmavet)Indonesia yang masih sangat lemah, potensi ancaman penyebaran PMK di Indonesia sangat besar. Apalagi proses eradikasi (pemberantasan) jika suatu negara tertular PMK membutuhkan dana dan waktu yang relatif lama.

Kedua, menurunkan produktivitas ternak. Pada sapi potong, produktivitas kerja ternak penderitan PMK akan menurun. Hal ini juga berpengaruh pada penurunan bobot tubuh ternak. Ternak yang menderita PMK sulit mengonsumsi, mengunyah, dan menelan pakan. Bahkan pada kasus yang sangat parah ternak tidak dapat makan sama sekali. Akibatnya, cadangan energi tubuh akan terpakai terus hingga akhirnya bobot hidup menurun dan ternak menjadi lemas. Bahkan dapat pula menggangu produktivitas reproduksi ternak. Selain itu, ternak produktif yang terserang PMK akan kehilangan kemampuan untuk melahirkan setahun setelah terserang penyakit tersebut. Ternak baru dapat beranak kembali setelah dua tahun kemudian. Jika pada awalnya seekor ternak mampu beranak lima ekor karena penyakit ini kemampuan melahirkan menurun menjadi tiga ekor atau kemampuan menghasilkan anak menurun 40%.

Ketiga, kerugian ekonomi bagi peternak dan negara besaran impor daging sapi telah lama meresahkan beberapa kalangan peternakan Indonesia. Melihat besarnya potensi bisnis dan ditambah populasi penduduk yang sangat besar, Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi negara-negara penghasil produk peternakan yang hendak memasukkan produk dagingnya ke Indonesia. Secara ekonomi makro dampak nyata impor daging ke Indonesia dapat menghancurkan perekonomian peternak. Bahkan dalam jangka panjang yang terjadi adalah timbulnya pengangguran dan tingkat kemiskinan baru, serta berkurangnya penerimaan pemerintah dari pajak yang seyogianya dapat dibayarkan oleh usaha dan industri peternakan. Hal ini harus dihindarkan karena pengangguran dan kemiskinan yang selama ini masih menjadi constraints penting dalam membangun bangsa yang tangguh dan berdaya saing, dan kehilangan potensi penerimaan pajak akan lebih memberatkan pelaksanaan program-program pembangunan.

Selain itu, Impor komoditas peternakan sapi potong tentu saja menguras devisa negara. Multiplier effect (dampak pengganda) baik yang bersifat langsung dan tidak langsung (direct and indirect effects) yang ditimbulkan dari kegiatan impor komoditas tersebut antara lain menghambat peningkatan pendapatan peternak dalam negeri, menghilangkan kesempatan (opportunity loss) dalam menciptakan lapangan kerja baru, menghambat pengentasan kemiskinan melalui usaha peternakan dalam negeri, hilangnya peluang ekspor komoditas ternak dan hasil ternak Indonesia dan dampak terhadap industri pariwisata sebagai akibat dari penurunan jumlah wisatawan yang datang ke dalam negeri. Bahkan Hilangnya peluang ekspor ternak, hasil ikutan ternak, hasil bahan hewan, dan pakan ini dapat berpengaruh secara global terhadap pembangunan peternakan (live stoc building) di suatu negara.

Keempat, terganggunya ketahanan pangan nasional peternakan merupakan salah satu sektor penyedia pangan nasional. Hampir sebagian besar produk bahan asal hewan diproduksi dan disediakan oleh sektor ini. Sehingga jika sektor peternakan sedang diguncang oleh wabah penyakit (PMK) maka sangat sulit peternakan, khususnya peternakan sapi, kambing, domba, dan ternak berkuku genap lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kecenderungan peningkatan impor daging dan sapi bakalan maupun sapi potong seharusnya tidak hanya semata-mata karena senjang permintaan dan penawaran. Tetapi, disebabkan juga karena adanya kemudahan dalam pengadaan produk impor (volume, kredit, transportasi) serta harga produk yang relatif murah. Kondisi ini telah menyebabkan peternak lokal tidak mampu bersaing, atau kurang bergairah karena harga daging relatif murah.

Dalam jangka panjang masuknya impor daging tersebut akan merusak usaha dan industri peternakan nasional. Usaha dan industri peternakan dalam negeri tidak mampu berproduksi karena tidak mampu membiayai biaya produksi dan biaya lainnya. Hal ini juga dapat menyebabkan ketergantungan terhadap produk impor akan semakin besar. Akibatnya, ketahanan pangan nasional terganggu. Padahal, ketahanan pangan merupakan kunci penting dalam membangun sebuah bangsa.

Kelima, berdampak terhadap kesehatan masyarakat veteriner. Definisi kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) menurut WHO, FAO, OIE, WHO/FAO Collaborating Centre for Research and Training in Veterinary Epidemiology and Management (1999) adalah kontribusi terhadap kesehatan fisik, mental, dan kesejahteraan social masyarakat melalui suatu pemahaman dan penerapan ilmu kedokteran hewan. Adapun yang dimaksud dengan ilmu kedokteran hewan adalah seluruh aktivitas veteriner yang meliputi produksi dan perawatan hewan, serta disiplin inti untuk mewujudkan kesehatan masyarakat dan semua yang berlangsung mempengaruhi kesehatan manusia.

Dengan demikian, jika pemerintah tetap akan melaksanakan importasi daging sapi dari negara belum bebas PMK tersebut, maka kehancuran sub sektor peternakan merupakan sebuah keniscayaan. Akibatnya, 'kehancuran' ketahanan pangan nasional pun tinggal menunggu waktu. Ibarat pepatah, "tikus mati di lumbung padi". Sungguh ironis!

Rujukan:

http://www.suarapembaca.detik.com/kebijakan-impor-daging-sapi-dan-ketahanan-pangan.htm

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar