DILEMA KEBIJAKAN PERBERASAN DAN MASALAH IMPOR

Beras memiliki sejarah panjang dalam kebijakan ekonomi politik Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaaanya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh bangsa Indonesia,. Untuk alasan ini, campur tangan untuk menjamin keberadaannya dengan harga yang terjangkau selalu dilakukan, termasuk oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda mengintervesi kecukupan pasokan beras dengan harga terjangkau bagi komoditi ini melalui berbagai cara, termasuk melalui pembangunan infrastuktur dan investasi teknologi produk pertanian dalam hal produksi. Sementara pada sisi stabilitas harga, pemerintah kolonial juga dari waktu ke waktu membuka keran impor bila dibutuhkan dan mentransportasinya lebih lanjut pada daerah kepulauan yang membutuhkan, serta mendirikan satu lembaga yang berperan menstabilisasi harga beras pada tahun 1939, yang sesungguhnya cikal bakal dari BULOG saat ini.

Setelah kemerdekaan, beras terus menjadi komoditi sosial politik strategis bangsa Indonesia. Namun pada era demokrasi terpimpin, dengan dijadikannya politik sebagai panglima, terdapat semacam pengabaian keberadaan dan keterjangkauan komoditi beras. Akibatnya, sebagaimana dicatat oleh Liddle (1987), ketiadaan komoditi ini pada beberapa daerah perkotaan di Indonesia menjadi salah satu alasan dari kejatuhan rezim Soekarno pada tahun 1965.

Untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat pada awal pemerintahan, rezim orde baru membuka keran impor dan bantuan luar negeri luas-luas untuk impor beras. Setelah kepercayaan ini diraih dan stabilitas teraih. Orba merevitalisasi peran bulog untuk menopang harga beras agar terjangkau, dengan tugas dan struktur organisasi yang diperluas. Pada saat yang sama, seiring dengan adanya rejeki minyak bumi pemerintah pada awal tahun 1970an, tntervensi pemerintah di bidang pertanian termasuk perberasan diperluas cakupan pada sisi produksi dan kesejahteraan petani. Sepanjang tahun 1970 an hingga awal 1980an, investasi besar-besaran pada infrasturuktur pertanian, pengembangan benih unggul serta pestisida, dan subsisi pada pupuk untuk petani. Pembangunan infrastruktur pertanian dan pengembangan teknik-teknik pertanian serta subsidi pada petani ini kemudian dikenal sebagai the green revolution, revolusi hijau di bidang pertanian.

Dari revolusi hijau ini dihasilkan peningkatan produksi beras secara besar-besaran, dimana produksi dalam negeri praktis berhasil memenuhi permintaan. Pada puncaknya pada tahun 1984, Indonesia meraih surplus dari produksi beras, atau yang dikenal swasembada pangan. Di saat yang sama revolusi hijau juga menghasilkan peningkatan pendapatan masyarakat di pedesaan dan memperkecil tingkat ketimpangan antar masyarakat desa dan kota di Indonesia, walau pada saat yang sama ada penurunan tingkat harga produk pertanian. Pemicu dan kunci dari keberhasilan ini sekali adalah transfer langsung maupun tidak langsung dari pemerintah kepada produsen pertanian. Transfer dari pemerintah ini pada gilirannya, sekali lagi, dimungkinkan oleh adanya pendapatan dari rejeki ekspor minyak Indonesia.

Pada tahun 1984/85 seiring dengan jatuhnya harga minyak di pasar dunia. Pendapatan pemerintah dari ekspor dan pajak minyak bumi jauh berkurang. Untuk itu kemudian dilakukan berbagai penghematan belanja negara, yang berimbas pada transfer dan subsidi pemerintah pada sektor pertanian. Di saat yang sama juga pemerintah mengintensifkan berbagai deregulasi dan liberalisasi di bidang perdagangan dan investasi serta keuangan dan perbankan. Dampak dari jauh berkurangnya transfer ini adalah menyusutnya produksi beras nasional. Mulai dari tahun 1984 sampai dengan 1993, Indonesia mengimpor rata-rata 160 ribu ton beras per tahun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/ pertahun pada periode 1994-1997. Pada masa krisis 1998-2000 jumlah ini meningkat lagi menjadi 4.65 juta tahun. Walau kemudian ada sedikit penurunan, sepanjang 2001-2005, impor beras bertahan di atas dua juta ton pertahunnya, yang membuat Indonesia praktis selalu berada pada lima besar negara pengimpor beras.

Dari sini jelas bahwa impor beras bukan sesuatu hal yang baru, tapi sudah dilakukan secara rutin dan teratur dalam waktu dua puluh tahun terakhir. Impor ini memang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan pangan dari kekurangan produksi dalam, serta untuk menyanggah stok pangan nasional untuk berbagai alasan. Dalam kaitan itu, beberapa penolak kebijakan sering merujuk kepada data surplus beras di daerah seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Timur untuk menolak impor beras. Perbandingan ini tentu tidak tepat mengingat ke dua propinsi ini memang terkenal sebagai lumbung beras nasional. Sementara sebagian besar propinsi dan secara nasional, sebagaimana yang diindikasikan oleh sensus pertanian 2003, Indonesia masih mengalami defisit beras. Lebih jauh, surplus yang dialami satu propinsi bukan jaminan akan tertutupnya defisit di propinsi lain. Sebab, lagi-lagi, tidak ada jaminan bahwa pedagang beras akan mau melepasnya stoknya ke Bulog, atau menjual berasnya dengan harga yang ditetapkan pemerintah.

Bahkan, sesungguhnya sejak awal sudah terdapat kecurigaan di sebagian masyarakat akan motivasi dari langkah ini. Ada kesan bahwa langkah pengajuan hak angket tidak lebih sekedar komoditisasi politik kebijakan perberasan dari beberapa partai untuk mengembalikan citra kerakyatannya. Gejala ini sudah terlihat dari ketidaktepatan berbagai argumentasi yang dikumandangkan oleh pihak pengusung anti beras impor.

Sebagai contoh argumen bahwa mayoritas penduduk miskin adalah petani beras, yang oleh karenanya akan dirugikan oleh kebijakan impor sudah dibuktikan sangat kontroversial. Sebab kenyataannya hanya 25 persen penduduk Indonesia merupakan petani beras. Kebanyakan dari petani beras itu juga adalah adalah petani subsisten yang lebih banyak mengkonsumsi ketimbang memproduksi beras. Sehingga dampak bersih dari kebijakan impor yang akan menekan harga beras di pasar domestik tentu bukan merugikan, akan tetapi justru menguntungkan mayoritas petani subsisten ini.

Demikian pula, argumen bahwa peningkatan harga beras domestik melalui penutupan keran impor adalah salah kaprah. Karena belum ada pembuktian yang meyakinkan bahwa produktivitas petani memiliki kaitan erat dengan tingkat harga gabah/beras domestik. Selama ini, pemerintah melalui BULOG membeli gabah dan beras bukan dari petani. Akan tetapi dari pedagang beras, yang terkonsentrasi di tangan beberapa distributor besar, yang bertindak sebagai oligopolis pasar. Jumlah penjual yang sangat terkonsentrasi ini menyebabkan setiap kenaikan harga gabah/beras, yang merupakan peningkatan defisit APBN, akan lebih banyak jatuh bukan pada petani akan tetapi sekedar dinikmati segelintir pedagang.

Bulog hanya mampu menyerap sekitar 10 ton dari surplus yang dikabarkan mencapai 2,7 juta ton pada tahun 2005. Selebihnya ditahan oleh para pedagang untuk berbagai alasan. Tarik menarik antara Bulog dan pedagang beras inilah yang kemudian menyebabkan melambungnya harga di tingkat konsumen. Dengan hanya sedikit saja manfaatnya, kalau pun ada bagi petani. Hal ini mengingat sebagian besar petani tidak menyimpan gabah atau beras untuk dijual.

Sementara itu kerugian bagi konsumen akibat melambungnya harga beras sudah terlihat sangat jelas. Dalam dua minggu pertama 2006 harga beras secara nasional sudah meningkat rata-rata sebesar 19 persen. Hal ini tentu saja bukan hanya mempersulit kehidupan rakyat kebanyakan yang sudah sarat beban. Akan tetapi juga akan berimbas pada peningkatan laju inflasi yang akan memiliki ramifikasi jauh ke berbagai besar-besaran moneter seperti tingkat bunga dan nilai tukar rupiah. Sebab makanan pokok seperti beras memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam penghitungan inflasi nasional dan daerah.

Dari uraian ini bisa disimpulkan langkah impor adalah tepat setidaknya untuk saat ini. Kini, berbagai pihak yang dikalahkan dalam hak angket berencana untuk membentuk satu komisi khusus tentang perberasan. Langkah ini patut didukung oleh semua pihak baik yang pro ataupun kontra terhadap beras impor. Karena memang pembentukan komisi khusus, yang biasanya ditujukan untuk mendalami satu persoalan, adalah prosedur umum pembuatan kebijakan yang berpotensi kontroversial di satu negara demokrasi.

Sayang, sebagaimana motivasi awalnya, komisi ini nampaknya hanya akan berkutat di seputar impor beras. Padahal masalah beras lebih dari sekedar impor atau tidak impor. Hal lain yang sesungguhnya lebih vital diselidiki dan diberikan solusi adalah persoalan di tata niaga pertanian. Persoalan ini sesungguhnya juga terjadi bukan hanya pada beras akan tetapi juga komoditi vital lain seperti gula. Kebijakan impor hanya akses dari carut-marut pada struktur dan tata niaga pertanian nasional. Persoalaan di tingkat tata niaga menyebabkan keterputusan mekanisme harga dan dampak intervensi pemerintah pada petani. Hal ini juga yang menyebabkan maraknya spekulasi yang merugikan negara dan kebanyakan rakyat.

Untuk itu, komisi perberasan harus melingkupi bukan hanya persoalan impor. Agenda yang lebih penting adalah mengurai tuntas benang kusut tata niaga dan mafia perberasan yang sudah lama menjadi duri dalam daging dalam perekonomian nasional. Langkah apa yang akan diambil tentu terserah kepada para pencetus komisi perberasan. Sementara rakyat hanya menilai apakah langkah ini murni karena ada keperdulian, atau sebatas gincu kerakyatan dan jualan politik partai-partai yang tengah meredup pamornya.

Rujukan:

http://dismal-science-indonesia-and-fantasy.blogspot.com/dilema-kebijakan-perberasan-dan.html

KEBIJAKAN IMPOR DAGING SAPI DAN KETAHANAN PANGAN

Belum lama ini pemerintah melalui Departemen Pertanian berencana akan membuka impor daging sapi dari negara Brasil dan Uruguay. Bahkan, untuk meninjau kemungkinan melakukan impor daging sapi tersebut pemerintah telah mempersiapkan tim khusus pada akhir April 2008. Upaya ini mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Hal ini sangat beralasan mengingat Brasil dan Uruguay menurut OIE (Office Internationale des epizootica) atau badan kesehatan hewan dunia merupakan negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Sedangkan Indonesia sejak tahun 1990 telah dinyatakan bebas PMK tanpa vaksinasi oleh OIE. Status bebas ini harus tetap dipertahankan dan diupayakan dengan menerapkan sistem kewaspadaan dini secara konsisten dan di siplin.

PMK dengan nama lain Foot and Mouth Disease (FMD) atau Aphthae Epizooticae (AE) merupakan penyakit yang sangat kontagius yang disebabkan oleh virus yang tergolong ke dalam genus Aphthovirus dari Famili Picornaviridae. Virus ini berbentuk ikosahedral, tidak berenvelop, berdiameter 27 nm, genomnya RNA berserat tunggal (single stranded RNA). Virus PMK sangat tahan dan dapat bertahan hidup dengan baik pada bahan organik seperti darah, feses, dan kondisi kelembaban tinggi, serta rendahnya sinar matahari serta mampu menyebabkan sakit pada hewan dengan tingkat kesakitannya (morbiditas) mencapai 100%. Pada umumnya penyakit ini menyerang hewan berkuku genap, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, gajah, jerapah, dan rusa.

Kebijakan Impor

Kebijakan impor dilakukan dalam rangka mendukung kekurangan produksi dalam negeri. Sampai saat ini Indonesia masih kekurangan pasokan daging sapi hingga 35% atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan 385 ribu ton. Defisit populasi sapi diperkirakan 10,7% dari populasi ideal atau sekitar 1,18 juta ekor. Kekurangan pasokan ini disebabkan sistem pembibitan sapi potong nasional masih parsial sehingga tidak menjamin kesinambungan. Padahal, titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah pembibitan.

Data Direktorat Jenderal Peternakan menyebutkan neraca produksi daging sapi nasional pada 2008 diperkirakan hanya memenuhi 64,9% dari proyeksi kebutuhan konsumsi sepanjang tahun ini atau Indonesia masih kekurangan 135.110 ton (35,1%) dari total kebutuhan daging. Dengan populasi 11,26 juta ekor produksi daging sapi nasional diperkirakan mencapai 249.925 ton dengan kebutuhan konsumsi daging diperkirakan mencapai 385.035 ton. Sementara itu Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mencatat, setiap tahun masyarakat Indonesia membutuhkan sekitar 350.000 sampai 400.000 ton daging sapi. Jumlah itu setara dengan sekitar 1,7-2 juta ekor sapi potong. Dari jumlah tersebut hingga saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30% daging sapi.

Pembangunan Peternakan Nasional

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar se-Asia Tenggara yang memiliki potensi sumber daya alam yang cukup melimpah. Potensi alam yang beriklim tropis dan kekayaan lahan yang luas, sangat memungkinkan bagi negara ini untuk membangun usaha sektor pertanian (agriculture sector), khususnya sub sektor peternakan. Pembangunan peternakan sebagai bagian dari pembangunan sistem agribisnis nasional (sisagrinas) menjadi bagian penting dalam mewujudkan ketahananan dan swasembada pangan bagi 223 juta lebih jumlah penduduk Indonesia. Khususnya kebutuhan akan protein hewani seperti daging, susu dan telur.

Selain itu, peran pembangunan peternakan nasional juga sangat signifikan sebagai sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 3,15 juta orang dan mampu menghidupi lebih dari 10 juta orang masyarakat Indonesia dengan investasi pada tahun 2007 tidak kurang dari Rp 4,5 triliun. Sektor peternakan diharapkan dapat menekan angka kemiskinan yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2007 mencapai 3,95 juta jiwa.

Melihat permasalahan tersebut pembangunan peternakan nasional harus secara konsisten dan berkesinambungan diarahkan untuk mampu memenuhi kebutuhan pangan akan daging. Upaya pemerintah melalui Departemen Pertanian dengan menerapkan kebijakan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) tahun 2010 harus didukung semua pihak dan segera diwujudkan tanpa mengedepankan semangat impor. Apalagi impor tersebut dilakukan dari negara yang belum bebas penyakit tertentu. Dampak Importasi Daging Sapi dari Negara Belum Bebas PMK Kebijakan importasi daging sapi dari negara yang belum bebas penyakit, terutama PMK akan berdampak cukup besar terhadap pembangunan peternakan nasional. Baik dampak secara langsung maupun tidak langsung.

Adapun dampak akibat importasi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

Pertama, berpeluang masuknya kembali PMK di Peternakan Indonesia. Sejak awal tahun 1990-an hingga saat ini Indonesia masih dinyatakan bebas dari PMK oleh OIE. Dengan demikian PMK merupakan penyakit eksotik yang perlu diwaspadai. Kebijakan impor daging dengan tanpa memperhatikan kondisi PMK dari negara asal tentu sama saja dengan memasukkan (mengimpor) penyakit ke Indonesia. Hal ini sangat beralasan karena tidak ada jaminan bahwa daging yang di impor adalah daging yang benar-benar bebas dari virus PMK. Selain itu, jika mengacu kepada kondisi sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) dan sistem kesehatan masyarakat veteriner (siskesmavet)Indonesia yang masih sangat lemah, potensi ancaman penyebaran PMK di Indonesia sangat besar. Apalagi proses eradikasi (pemberantasan) jika suatu negara tertular PMK membutuhkan dana dan waktu yang relatif lama.

Kedua, menurunkan produktivitas ternak. Pada sapi potong, produktivitas kerja ternak penderitan PMK akan menurun. Hal ini juga berpengaruh pada penurunan bobot tubuh ternak. Ternak yang menderita PMK sulit mengonsumsi, mengunyah, dan menelan pakan. Bahkan pada kasus yang sangat parah ternak tidak dapat makan sama sekali. Akibatnya, cadangan energi tubuh akan terpakai terus hingga akhirnya bobot hidup menurun dan ternak menjadi lemas. Bahkan dapat pula menggangu produktivitas reproduksi ternak. Selain itu, ternak produktif yang terserang PMK akan kehilangan kemampuan untuk melahirkan setahun setelah terserang penyakit tersebut. Ternak baru dapat beranak kembali setelah dua tahun kemudian. Jika pada awalnya seekor ternak mampu beranak lima ekor karena penyakit ini kemampuan melahirkan menurun menjadi tiga ekor atau kemampuan menghasilkan anak menurun 40%.

Ketiga, kerugian ekonomi bagi peternak dan negara besaran impor daging sapi telah lama meresahkan beberapa kalangan peternakan Indonesia. Melihat besarnya potensi bisnis dan ditambah populasi penduduk yang sangat besar, Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi negara-negara penghasil produk peternakan yang hendak memasukkan produk dagingnya ke Indonesia. Secara ekonomi makro dampak nyata impor daging ke Indonesia dapat menghancurkan perekonomian peternak. Bahkan dalam jangka panjang yang terjadi adalah timbulnya pengangguran dan tingkat kemiskinan baru, serta berkurangnya penerimaan pemerintah dari pajak yang seyogianya dapat dibayarkan oleh usaha dan industri peternakan. Hal ini harus dihindarkan karena pengangguran dan kemiskinan yang selama ini masih menjadi constraints penting dalam membangun bangsa yang tangguh dan berdaya saing, dan kehilangan potensi penerimaan pajak akan lebih memberatkan pelaksanaan program-program pembangunan.

Selain itu, Impor komoditas peternakan sapi potong tentu saja menguras devisa negara. Multiplier effect (dampak pengganda) baik yang bersifat langsung dan tidak langsung (direct and indirect effects) yang ditimbulkan dari kegiatan impor komoditas tersebut antara lain menghambat peningkatan pendapatan peternak dalam negeri, menghilangkan kesempatan (opportunity loss) dalam menciptakan lapangan kerja baru, menghambat pengentasan kemiskinan melalui usaha peternakan dalam negeri, hilangnya peluang ekspor komoditas ternak dan hasil ternak Indonesia dan dampak terhadap industri pariwisata sebagai akibat dari penurunan jumlah wisatawan yang datang ke dalam negeri. Bahkan Hilangnya peluang ekspor ternak, hasil ikutan ternak, hasil bahan hewan, dan pakan ini dapat berpengaruh secara global terhadap pembangunan peternakan (live stoc building) di suatu negara.

Keempat, terganggunya ketahanan pangan nasional peternakan merupakan salah satu sektor penyedia pangan nasional. Hampir sebagian besar produk bahan asal hewan diproduksi dan disediakan oleh sektor ini. Sehingga jika sektor peternakan sedang diguncang oleh wabah penyakit (PMK) maka sangat sulit peternakan, khususnya peternakan sapi, kambing, domba, dan ternak berkuku genap lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kecenderungan peningkatan impor daging dan sapi bakalan maupun sapi potong seharusnya tidak hanya semata-mata karena senjang permintaan dan penawaran. Tetapi, disebabkan juga karena adanya kemudahan dalam pengadaan produk impor (volume, kredit, transportasi) serta harga produk yang relatif murah. Kondisi ini telah menyebabkan peternak lokal tidak mampu bersaing, atau kurang bergairah karena harga daging relatif murah.

Dalam jangka panjang masuknya impor daging tersebut akan merusak usaha dan industri peternakan nasional. Usaha dan industri peternakan dalam negeri tidak mampu berproduksi karena tidak mampu membiayai biaya produksi dan biaya lainnya. Hal ini juga dapat menyebabkan ketergantungan terhadap produk impor akan semakin besar. Akibatnya, ketahanan pangan nasional terganggu. Padahal, ketahanan pangan merupakan kunci penting dalam membangun sebuah bangsa.

Kelima, berdampak terhadap kesehatan masyarakat veteriner. Definisi kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) menurut WHO, FAO, OIE, WHO/FAO Collaborating Centre for Research and Training in Veterinary Epidemiology and Management (1999) adalah kontribusi terhadap kesehatan fisik, mental, dan kesejahteraan social masyarakat melalui suatu pemahaman dan penerapan ilmu kedokteran hewan. Adapun yang dimaksud dengan ilmu kedokteran hewan adalah seluruh aktivitas veteriner yang meliputi produksi dan perawatan hewan, serta disiplin inti untuk mewujudkan kesehatan masyarakat dan semua yang berlangsung mempengaruhi kesehatan manusia.

Dengan demikian, jika pemerintah tetap akan melaksanakan importasi daging sapi dari negara belum bebas PMK tersebut, maka kehancuran sub sektor peternakan merupakan sebuah keniscayaan. Akibatnya, 'kehancuran' ketahanan pangan nasional pun tinggal menunggu waktu. Ibarat pepatah, "tikus mati di lumbung padi". Sungguh ironis!

Rujukan:

http://www.suarapembaca.detik.com/kebijakan-impor-daging-sapi-dan-ketahanan-pangan.htm

REVOLUSI HIJAU: KEGAGALAN MENUJU SWASEMBADA

Penduduk dunia terus bertambah, terutama di negara-negara berkembang. Keadaan tersebut harus diiringi/didukung oleh peningkatan pangan. Sesuai dengan apa yang dinyatakan Thomas Robert Malthus, perlu disadari bahwa kemampuan sumber daya alam sebagai penghasil pangan adalah terbatas. Untuk itu perlu diupayakan pengembangan sumber daya alam yang pada akhirnya ditujukan bagi pengembangan produksi pangan.

Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Revolusi hijau adalah usaha manusia dalam meningkatkan produksi pangan atau makanan dengan jalan melakukan pengembangan pada teknologi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kesejahteraan penduduk dunia. Bahan makanan atau pangan yang termasuk dalam revolusi hijau adalah yang termasuk dalam kelompok serelia atau sereal/cereal yaitu seperti beras, gandum, sagu, kentang, jagung, dan lain sebagainya. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia.

Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Dilakukan dengan Ekstensifikasi dan Intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi dengan perluasan areal. Terbatasnya areal, menyebabkan pengembangan lebih banyak pada intensifikasi. Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu:

1. Teknik pengolahan lahan pertanian

2. Pengaturan irigasi

3. Pemupukan

4. Pemberantasan hama

5. Penggunaan bibit unggul

Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disebut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.

Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah.

Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian. Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah.

Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:

1. Berbagai organisme penyubur tanah musnah

2. Kesuburan tanah merosot / tandus

3. Tanah mengandung residu (endapan pestisida)

4. Hasil pertanian mengandung residu pestisida

5. Keseimbangan ekosistem rusak

6. Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.

Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia —yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini. Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah. Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang.

Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: “Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.”. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi.

Rujukan:

· http://ashiiqa.wordpress.com/Revolusi%20Hijau%20%C2%AB%20AshezOne.htm

· http://www.free.vlsm.org/0146%20Bio%203-6a.htm

· http://www.organisasi.org/revolusi_hijau_dan_revolusi_biru_ilmu_biologi.htm

PERANAN ENZIM DALAM PEMBUATAN BIR

Pembuatan bir (bahasa Inggris: brewing, dibaca; bruwing) adalah proses yang menghasilkan minuman beralkohol melalui fermentasi. Metode ini digunakan dalam produksi bir, sake, dan anggur. Brewing memiliki sejarah yang panjang, dan bukti arkeologi menunjukkan bahwa teknik ini telah digunakan di Mesir kuno. Berbagai resep bir ditemukan dalam tulisan-tulisan Sumeria. Tempat pembuatan bir dinamakan brewery (bahasa Inggris) atau brauerei (bahasa Jerman).

Teknologi pembuatan bir mengalami perubahan yang cukup besar dari abad ke abad, dan bahkan dewasa ini setiap pembuat punya caranya sendiri. Tetapi, secara umum, hampir semua bir mengandung empat bahan dasar: barli, hop, air dan ragi. Seluruh proses pembuatan bir dapat dibagi menjadi empat tahap: pembuatan malt, pengolahan wort, fermentasi dan pematangan.

Pembuatan malt

Semua bir dibuat dari malt. Malt ini, tergantung kebiasaan, dibuat dari bulir jelai, gandum, atau kadang gandum hitam. Selama tahap ini, barli disortir, ditimbang, dan dibersihkan. Setelah itu, barli direndam dlm air dengan tujuan supaya barli itu berkecambah. Prosesnya memakan waktu antara lima sampai tujuh hari pada suhu sekitar 14oC. Hasilnya adalah malt hijau, yang dipindahkan ke oven khusus untuk dikeringkan di kiln. Proses perkecambahan menghasilkan beberapa enzim, terutama α-amilase dan β-amilase, yang akan digunakan untuk mengubah pati dalam bulir menjadi gula. Kadar air dalam malt hijau itu diturunkan hingga antara 2% sampai 5% agar berhenti berkecambah. Setelah dikeringkan, kecambah dibuang dari butiran malt, lalu malt itu digiling. Kemudian, tahap berikutnya bisa dimulai.

Pengolahan wort

Malt yang telah digiling dicampur dengan air untuk menghasilkan adonan, yang kemudian dipanaskan perlahan-lahan dalam sebuah proses yang dinamai mashing. Mashing biasanya memakan waktu 1 sampai 2 jam. Pada suhu tertentu, enzim-enzimnya mulai mengubah sarinya menjadi gula sederhana. Tetapi ini berlangsung lebih dari empat jam dan menghasilkan wort yang kemudian disaring sampai bersih. Berikutnya adalah proses pendidihan, yang menghentikan kegiatan enzim. Selama pendidihan, hop ditambahkan ke dalam wort untuk menghasilkan rasa pahit bir yang khas. Setelah kira-kira dua jam dididihkan, wort didinginkan sampai suhu tertentu.

Fermentasi

Barangkali inilah tahap terpenting dalam proses pembuatan bir. Dengan bantuan ragi, gula sederhana dalam wort diubah menjadi alkohol dan karbon dioksida. Lama fermentasi yang berlangsung tidak lebih dari seminggu, dan suhu proses itu bergantung pada jenis bir misalnya ale (bir keras) atau lager (bir ringan) yang dihasilkan. Bir mentah itu kemudian dipindahkan ke dalam tangki-tangki di ruang penyimpanan bawah tanah untuk dimatangkan.

Pematangan

Selama tahap ini, terbentuklah rasa serta aroma bir yang khas dan juga gelembung-gelembung dari karbon dioksida. Bir mengalami pematangan selama suatu periode dari tiga minggu sampai beberapa bulan, bergantung pada jenis bir. Akhirnya, bir yang telah jadi itu dikemas dalam gentong atau botol dan siap dikirim ke tempat tujuan akhir.

Rujukan:

· http://all-biologi.blogspot.com/bioteknologi-bioteknologi-adalahproses.html

· http://id.wikipedia.org/Pembuatan_bir.htm

PENCOKLATAN BERDASARKAN GULA REDUKSI

Proses pencoklatan atau browning dapat kita temukan pada suatu bahan pangan, baik yang disengaja dengan maksud mempercantik tampilan atau menambah flavor, maupun yang tidak disengaja atau tidak diinginkan. Pada umumnya proses pencoklatan dapat di bagi menjadi dua jenis, proses pencoklatan yang enzimatik (dipengaruhi oleh substrat, enzim, suhu, waktu) dan nonenzimatik yang terbagi menjadi 3 macam reaksi yakni karamelisasi, reaksi Maillard dan pencoklatan akibat vitamin C.

Reaksi-reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer, disebut reaksi-reaksi Maillard. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikehendaki atau kadang-kadang malahan menjadi pertanda penurunan mutu. Warna yang dikehendaki misalnya pada roti, daging, sate dan proses penggorengan ubi jalar. Gugus amina primer biasanya terdapat pada bahan awal sebagai asam amino.

Pemasakan dirumah-rumah tangga dan pengalengan makanan secara komersil hanya memberi sedikit pengaruh terhadap nilai gizi protein bahan pangan. Akan tetapi proses industri lainnya, yang menyangkut penggunaan panas pada kadar air yang rendah, misalnya selama pengeringan dan pembakaran (roti), serta proses penyimpanan selanjutnya dari produk yang dihasilkan, dapat mengakibatkan penurunan gizi yang cukup besar.

Reaksi Maillard dapat terjadi, misalnya selama produksi pembakaan roti. Kehilangan tersebut terutama terjadi pada bagian yang berwarna coklat (crust), yang mungkin karena terjadinya reaksi dengan gula pereduksi yang dibentuk selama proses fermentasi tetapi tidak habis digunakan oleh khamir (dari ragi roti). Meskipun gula-gula nonreduksi (misalnya sukrosa) tidak bereaksi dengan protein pada suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi ternyata dapat menimbulkan reaksi Maillard, yang pada suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan glikosidik dari sukrosa dan menghasilkan glukosa dan fruktosa.

Dalam bahan pangan keberadaan karbohidrat kadang kala tidak sendiri melainkan berdampingan dengan zat gizi yang lain seperti protein dan lemak. Interaksi antara karbohidrat (gula) dengan protein telah dibahas, seperti tersebut diatas. Bahan pangan yang dominan kandungan karbohidratnya seperti singkong, ubi jalar, gula pasir, dll. Dalam pengolahan yang melibatkan pemanasan yang tinggi karbohidrat terutama gula akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non enzimatis). Warna karamel ini kadang-kadang justru dikehendaki, tetapi jika dikehendaki karamelisasi yang berlebihan sebaliknya tidak diharapkan .

Faktor pengolahan juga sangat berpengaruh terhadap kandungan karbohidrat, terutama seratnya. Beras giling sudah barang tentu memiliki kadar serat makanan dan vitamin B1 (thiamin) yang lebih rendah dibandingkan dengan beras tumbuk. Demikian juga pencucian beras yang dilakukan berulang-ulang sebelum dimasak, akan sangat berperan dalam menurunkan kadar serat. Pengolahan buah menjadi sari buah juga akan menurunkan kadar serat, karena banyak serat akan terpisah pada saat proses penyaringan.

Gula pasir dapat disebut juga sukrosa yang merupakan disakarida, gula invert dan non gula reduksi. Sukrosa diperoleh dengan jalan mengkondensasi glukosa dan fruktosa, dapat diinversikan sehingga kemanisannya tinggi. Rumus molekul sukrosa adalah C12H22O11 dengan berat molekul 342,296. Sukrosa mempunyai sifat sedikit higroskopis dan mudah larut dalam air. Semakin tinggi suhu, maka kelarutannya akan semakin besar. Pada suhu yang tinggi yaitu antara 190-220oC terjadi dekomposisi secara lengkap dan menghasilkan karamel. Pemanasan lebih lanjut akan menghasilkan CO2, CO, asam asetat dan aseton (Marsono, 1999).

Menurut Fennema (1985), gula berfungsi sebagai humektan, membantu pembentukan tekstur, memberi flavor melalui reaksi pencoklatan, memberi rasa manis. Selain itu, Buckle (1987), menyatakan bahwa apabila gula ditambahkan ke dalam bahan makanan pada konsentrasi cukup tinggi (paling sedikit 40% padatan terlarut) sebagian air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikrobia dan Aw dari bahan pangan akan menjadi berkurang. Daya larut yang tinggi dari gula dan kemampuannya mengurangi keseimbangan relatif (ERH) dan mengikat air adalah sifat-sifat yang menyebabkan gula dipakai dalam proses pengawetan pangan.

Rujukan :

· Winarno, 2006, Kimia Pangan dan Gizi

· Fennema, O. R., 1985. Food Chemistry. 2nd edition. Marcell Dekker Inc., New York

· Buckle, 1987. Ilmu Pangan. UI Press, Jakarta

· Blog Deni Susilo, Efek Pengolahan Terhadap Zat Gizi Pangan

HFCS (High Fructose Corn Syrup)

Pembuatan HFCS (High Fructose Corn Syrup) dapat dilakukan dengan tersediaanya substrat pati jagung dan enzim isomerase yang mampu merubah glukosa menjadi fruktosa. Kini telah berkembang penggunaan “immobilized enzymes”, suatu enzim yang dikurung dalam sejenis kapsul, sehingga substrat dan produknya saja yang dapat masuk ke luar, sedang enzimnya tidak ke luar (immobilize) dari kapsulnya. Dengan demikian penggunaannya dapat berulang-ulang, sampai mengalami stadium “fatigue”.

Salah satu produk HFCS (yang pertama diproduksi) mengandung 71 persen padatan terlarut, dengan susunan 42 persen fruktosa, 52 persen dekstrosa (glukosa) dan 6 persen gula-gula lain. Karena kandungan dektrosanya, suhu penyimpanan sebaiknya dilakukan pada 80 – 900F, untuk mencegah terjadinya kristalisasi glukosa.

Untuk per ton pati diperlukan enzym liquifaction (amylase sebanyak 1.15 kg, enzim sacharifikasi 0.85 kg, enzim isomerase 0.70 kg, filter aw 5.54, “active carbon” 6.00 kg. NaCI 10.9 kg dan HCI 56.20 kg.

a. Likuifikasi

Kanji pati jagung (40 – 45%) dimasukkan ke dalam pompa dengan dicampur enzim amilase dan cofaktor. PH diatur sampai sekitar 6.8 sebelum ditambah dengan enzim. Dan kemudian dinjeksikan uap air panas sehingga mencapai suhu reaksi enzim yaitu 1040C. Dengan tekanan uap, mampu sekaligus mengocok sehingga mempercepat reaksi. Penambahan enzim dilakukan dan produk dibiarkan pada suhu 930C selama 60 menit sehingga proses likuifikasi berlangsung lengkap. Pada tahap tersebut seluruhpati telah dirubah sehingga mencapai dekstrose-eqivalen (DE) sekitar 15 – 20.

b. Sacharifikasi

Campuran didinginkan sehingga mencapai 600C, suhu yang optimal untuk proses sacharifikasi. Karena reaksinya exotherm maka ada kecenderungan proses menyebabkan bertambahnya suhu, karena itu harus diturunkan dan dikendalikan. Pengendalian suhu sangat penting pada tahap sacharifikasi. Produk akhir mencapai DE 95 – 98.

c. Refining sirup dekstrosa

Proses refining dimulai dengan proses filtrasi. Filtrasi dilakukan secara vakum yang mampu menjaring protein, serat atau padatan lain dengan cara sirup ampas dikeringkan untuk kemudian dibuat pellet untuk makanan ternak. Sirup yang telah disaring tersebut dipompakan ke dalam kolom karbon aktif dan ion exchange dalam bentuk seri untuk lebih memurnikan sirup. Kolom karbon aktif biasanya terdiri dari dua buah kolom yang mampu menampung aliran sirup dengan “retention time” 400 jam, yang diperlengkapi dengan alat distributor yang menjamin distribusi sehomogen mungkin.

Setelah melalui karbon aktif, sirup tersebut dialirkan dalam tangki-tangki “ion exchange” dan kemudian disaring lagi untuk memisahkan adanya karbon yang terikut dalam sirup.

Fungsi “ion-exchange” ialah untuk menghilangkan zat-zat mineral dalam sirup dan residu protein atau zat-zat warna yang mungkin lolos dari kolom karbon aktif. Tahap berikutnya adalah pengentalan kembali dengan dilakukan evaporator.

d. Isomerisasi

Glukosa dan fruktosa adalah merupakan isomer satu dengan yang lainnya, artinya memilih berat molekul dan susunan atom yang sama tetapi dengan struktur konfigurasi yang berbeda. Glukosa dapat dirubah strukturnya menjadi fruktosa atau sebaliknya, fruktosa dapat dirubah menjadi glukosa dengan pertolongan enzim yang sama yaitu glukosa-isomerase. Proses perubahan tersebut disebut “enzymatic glucose-isomerization”.

Karena enzim tersebut “reversible” artinya dapat mengkatalis ke aksi bolak-balik maka produk akhir selalu merupakan campuran dari biak glukosa maupun fruktosa. Relatif komposisi campuran dari kedua jenis gula tersbut dapat bervariasi tergantung kondisi reaksi, suhu dan keasaman dimana proses isomerasi berlangsung. High Fructose yang diproduksi mengandung fruktosa 42 persen, 50 persen glukosa dan 8 persen oligomerasi (gula lain).

Sirup kental dengan kadar padatan 45 persen dimasukkan ke dalam isomerasi selama 15 menit untuk mengatur pH 8.0 dan penambahan Mg sulfat sebagai promts, sirup dipompakan ke dalam kolom-kolom isomerasi. Sebelum proses dimulai, suhu kasar dan suhu tepat (600C) diatur secara cermat, dilakukan di aerasi dalam kolom sehingga mencapai kevakuman 254 mm Hg dan enzim gluko isomerasenya telah pula disiapkan. Adanya oksigen terlarut dapat memblokir reaksi isomerasi.

Dalam industri yang berskala besar proses isomerasi dilakukan pada sembilan kolom reaktor (fixed bed, densiflow) dan beberapa “immobilized enzym” kolom reaktor. Enzim dalam kolom secara cepat berubah secara isomerisasi, glukose menjadi fruktosa. Kadar sirup glukosa harus diatur selalu tetap yaitu antara 42.5 – 43 persen agar “flowrate”nya konstan.

e. Refining HFS

“High Fructose Syrup” yang diperoleh kemudian ditampung dalam tangki penampung dan kemudian dialirkan ke dalam filter, karbon aktif dan “ion-exchange” kolom seperti yang digunakan dalam proses pemurnian sirup glukosa. Karbon aktif mengambil senyawa berwarna yang terjadi selama proses isomerasi dan “ion-exchange” mengambil garam anorganik yang digunakan dalam proses isomerasi sehingga kadar abu dapat ditekan menjadi serendah mungkin.

Sirup HFS yang diperoleh disaring lagi, dipanaskan pada suhu di bawah diskolom HFS untuk meningkatkan kekentalan sirup sehingga mencapai kadar padatan terlarut 71 persen, disaring lagi baru ditampung ke dalam tangki-tangki penyimpanan.

Rujukan: ebookpangan.com 2006

KETERLIBATAN ENZIM DALAM BAHAN PANGAN SERTA MEKANISMENYA

Enzim merupakan material yang penerapannya pada kehidupan sudah dilakukan manusia sejak peradaban dimulai. Proses fermentasi untuk membuat roti atau minuman telah dilakukan oleh bangsa Mesir sejak 6000 tahun lalu. Sementara di tanah air, masyarakat telah terbiasa makan tempe, tahu, atau kecap yang merupakan produk fermentasi mungkin sejak ratusan tahun lalu. Tanpa diketahui oleh para nenek moyang, bahwa enzim yang terdapat pada yeast dan jamur yang dipakai itulah yang mengubah gandum menjadi roti dan kedelai menjadi tempe yang lezat.

Sejak tahun 70'an, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah menyadari, bahwa enzim akan memegang peranan penting dalam industri Indonesia. Enzim adalah protein tidak beracun namun mampu mempercepat laju reaksi kimia dalam suhu dan derajat keasaman yang lembut. Produk yang dihasilkannya sangat spesifik sehingga dapat diperhitungkan dengan mudah. Enzim menjadi primadona industri saat ini dan di masa yang akan datang karena melalui penggunaannya, energi dapat dihemat dan akrab dengan lingkungan. Saat ini penggunaan enzim dalam industri makanan dan minuman, industri tekstil, industri kulit dan kertas di Indonesia semakin meningkat. Dilaporkan, enzim amilase yang digunakan dalam industri tekstil di Bandung - Jawa Barat, jumlahnya tidak kurang dari 4 ton per bulan atau sekitar 2- 3 juta dolar Amerika setiap bulannya dan semuanya diimpor.

Oleh karena itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah sejak lama mengumpulkan dan menseleksi mikroba penghasil enzim khususnya penghasil enzim amilase (pemecah zat tepung), lipase (pemecah lemak), dan protease (pemecah protein). Ke tiga enzim ini sudah amat luas dipakai dalam industri gula cair dan tekstil serta kertas, industri modifikasi lemak, dan industri kulit. Paling tidak, ada 3 Pusat Penelitian (Puslit) di lingkungan LIPI yang bekerja dengan enzim yaitu Puslit Bioteknologi, Puslit Biologi dan Puslit Kimia Terapan.

Pada saat ini Puslit Biologi tengah melakukan seleksi ulang terhadap koleksi mikroba penghasil ke 3 enzim di atas. Sementara itu Puslit Kimia Terapan telah mengembangkan produksi enzim a amilase sekala laboratorium dan Puslitbang Bioteknologi telah mengembangkan dan mempatenkan proses produksi enzim glukoamilase menggunakan kapang Rhizopus melalui UNIQUEST di Australia dan mengujicoba proses serupa menggunakan kapang Aspergillus sampai sekala 500 liter. Kini LIPI dengan berbagai fasilitasnya siap bermitra untuk mengembangkannya ke tingkat komersial.

Sekitar 80% darin enzim industrial adalah enzim hidrolitik, yang digunakan unutk depolimerisasi (pemecahan molekul-molekul yang komples menjadi yang lebih sedarhana) bahan-bahan alami. Hampir 60% dari kelompok enzim hidrolitik ini adalah proteolitik yang digunakan selain untuk industri pangan misalnya dairy industries, juga untuk industri kulit dan deterjen.

Kemudian disusul karbohidrase sekitar 30% yang dipakai untuk keperluan industri pati-patian, baking, distilasi, pembuatan bir, dan juga industri tekstil. Lipase dan highly specialized enzymes, seperti untuk keperluan farmasi, analitik dan pengembangan, menempati posisi berikutnya.

Enzim amilase digunakan untuk menghidrolisis pati menjadi suatu produk yang larut dalam air serta mempunyai berat molekul rendah yaitu glukosa. Enzim ini banyak digunakan pada industri minuman misalnya pembuatan High Fructose Syrup (HFS) maupun pada industri tekstil. Enzim amilase dapat diproduksi oleh berbagai jenis mikroorganisma terutama

dari keluarga Bacillus, Psedomonas dan Clostridium. Bakteri potensial yang akhir-akhir ini banyak digunakan untuk memproduksi enzim amilase pada skala industri antara lain Bacillus licheniformis dan B.stearothermophillus. Bahkan penggunaan B.stearothermophillus lebih disukai karena mampu menghasilkan enzim yang bersifat termostabil sehingga dapat menekan biaya produksi.

Enzim proteolitik memainkan peranan yang penting pada industri makanan (misalnya dalam proses konversi susu menjadi keju), sebagai bahan pada deterjen maupun pada pemrosesan kulit. Protease yang dipakai secara komersial seperti serine protease dan metalloprotease, biasanya berasal dari Bacillus subtilis yang mempunyai kemampuan produksi dan sekresi enzim yang tinggi. Produsen enzim protease lainnya adalah Pseudomanas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Pemakaian enzim protease dalam proses tanning kulit dapat meningkatkan kualitas kulit, disamping itu juga merupakan pemakaian produk bioteknologi yang ramah lingkungan karena dapat mengurangi beban polusi limbah industri kulit.

Enzim lipase (triacylglycerol acylhydrolases) banyak diproduksi oleh berbagai jenis mikroorganisma baik tunggal maupun bersamaan dengan enzim esterase. Mikroba penghasil lipase antara lain adalah Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens, Staphylocococcus aureus dan Bacillus subtilis. Enzim lipase ini digunakan sebagai biokatalis untuk memproduksi asam lemak bebas, gliserol, berbagai ester, sebagian gliserida, dan lemak yang dimodifikasi atau diesterifikasi dari substrat yang murah, seperti minyak kelapa sawit. Produk-produk tersebut secara luas digunakan dalam industri farmasi, kimia dan makanan.

Ada dua jenis enzim yang sangat penting, yaitu diastase dan protease. Diastase adalah suatu enzim kombinasi dari alpha dan beta amylase, dan berfungsi mengubah pati yang rusak menjadi gula maltose. Sehingga bila butir-butir pati rusak atau kurang tahan disenyawakan dengan diastase, maka alpha amylase akan mengubah pati menjadi dekstrin. Sedangkan beta amylase mengubah dekstrin dan pati hancur menjadi gula maltose. Selanjutnya gula maltose diubah oleh enzim maltose menjadi gula biasa, yang bila diasimilasikan dengan ragi akan menghasilkan karbondioksida yang dapat mengembangkan adonan, alkohol dan sejumlah kecil bahan lain seperti asam. Enzim protease berfungsi melembekkan, melembutkan atau menurunkan gluten yang membentuk protein.

Tiga hal yang dapat mempengaruhi kegiatan enzim yaitu: suhu atau temperatur, kemasaman dan jangka waktu. Kegiatan enzim akan meningkat bila suhu dinaikkan hingga 145o F, selanjutnya diatas suhu tersebut kegiatan enzim akan menurun sehingga akhirnya berhenti bekerja. Sedangkan pada bahan yang bersifat masam yaitu antara pH 4,6 - 4,8 maka akan terbentuk maltose dalam jumlah besar. Jangka waktu juga memegang peranan penting terhadap kegiatan enzim, makin lama enzim bereaksi dalam suatu bahan makin banyak produksi yang dapat dicapai, sehingga enzim akan terus bekerja selama ada bahan tempat enzim tersebut bereaksi.

Berikut ini ada beberapa fungsi enzim dalam peragian, yaitu:

1.

Dari bahan tepung dan sirup malt, enzim diastase berguna mencairkan pati, dan mengubah pati cair menjadi gula malt (jelai).

2.

Dari bahan tepung dan sirup malt, enzim protease berguna melembutkan gluten sehingga adonan roti dapat mengembang.

3.

Dari sumber ragi, enzim invertase dapat mengubah gula tebu menjadi gula campuran (invert sugar).

4.

Dari sumber ragi, enzim maltase dapat mengubah gula malt menjadi gula dekstrose.

5.

Dari sumber ragi, enzim zymase dapat mengubah gula campuran dan gula dektrose menjadi gas karbondioksida ang mengembangkan adonan dan alkohol yang hilang dari dalam roti selama proses pembakaran atau oven.

Rujukan:

· http://blogs.unpad.ac.id/file

· http://www.beritaiptek.com/berita-beritaiptek-2006-05-19-Extremozim.htm

· http://www.pipimm.org.htm

· http://www.warintek.bantulkab.go.id.htm