Beras memiliki sejarah panjang dalam kebijakan ekonomi politik Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaaanya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh bangsa Indonesia,. Untuk alasan ini, campur tangan untuk menjamin keberadaannya dengan harga yang terjangkau selalu dilakukan, termasuk oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda mengintervesi kecukupan pasokan beras dengan harga terjangkau bagi komoditi ini melalui berbagai cara, termasuk melalui pembangunan infrastuktur dan investasi teknologi produk pertanian dalam hal produksi. Sementara pada sisi stabilitas harga, pemerintah kolonial juga dari waktu ke waktu membuka keran impor bila dibutuhkan dan mentransportasinya lebih lanjut pada daerah kepulauan yang membutuhkan, serta mendirikan satu lembaga yang berperan menstabilisasi harga beras pada tahun 1939, yang sesungguhnya cikal bakal dari BULOG saat ini.
Setelah kemerdekaan, beras terus menjadi komoditi sosial politik strategis bangsa Indonesia. Namun pada era demokrasi terpimpin, dengan dijadikannya politik sebagai panglima, terdapat semacam pengabaian keberadaan dan keterjangkauan komoditi beras. Akibatnya, sebagaimana dicatat oleh Liddle (1987), ketiadaan komoditi ini pada beberapa daerah perkotaan di Indonesia menjadi salah satu alasan dari kejatuhan rezim Soekarno pada tahun 1965.
Untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat pada awal pemerintahan, rezim orde baru membuka keran impor dan bantuan luar negeri luas-luas untuk impor beras. Setelah kepercayaan ini diraih dan stabilitas teraih. Orba merevitalisasi peran bulog untuk menopang harga beras agar terjangkau, dengan tugas dan struktur organisasi yang diperluas. Pada saat yang sama, seiring dengan adanya rejeki minyak bumi pemerintah pada awal tahun 1970an, tntervensi pemerintah di bidang pertanian termasuk perberasan diperluas cakupan pada sisi produksi dan kesejahteraan petani. Sepanjang tahun 1970 an hingga awal 1980an, investasi besar-besaran pada infrasturuktur pertanian, pengembangan benih unggul serta pestisida, dan subsisi pada pupuk untuk petani. Pembangunan infrastruktur pertanian dan pengembangan teknik-teknik pertanian serta subsidi pada petani ini kemudian dikenal sebagai the green revolution, revolusi hijau di bidang pertanian.
Dari revolusi hijau ini dihasilkan peningkatan produksi beras secara besar-besaran, dimana produksi dalam negeri praktis berhasil memenuhi permintaan. Pada puncaknya pada tahun 1984, Indonesia meraih surplus dari produksi beras, atau yang dikenal swasembada pangan. Di saat yang sama revolusi hijau juga menghasilkan peningkatan pendapatan masyarakat di pedesaan dan memperkecil tingkat ketimpangan antar masyarakat desa dan kota di Indonesia, walau pada saat yang sama ada penurunan tingkat harga produk pertanian. Pemicu dan kunci dari keberhasilan ini sekali adalah transfer langsung maupun tidak langsung dari pemerintah kepada produsen pertanian. Transfer dari pemerintah ini pada gilirannya, sekali lagi, dimungkinkan oleh adanya pendapatan dari rejeki ekspor minyak Indonesia.
Pada tahun 1984/85 seiring dengan jatuhnya harga minyak di pasar dunia. Pendapatan pemerintah dari ekspor dan pajak minyak bumi jauh berkurang. Untuk itu kemudian dilakukan berbagai penghematan belanja negara, yang berimbas pada transfer dan subsidi pemerintah pada sektor pertanian. Di saat yang sama juga pemerintah mengintensifkan berbagai deregulasi dan liberalisasi di bidang perdagangan dan investasi serta keuangan dan perbankan. Dampak dari jauh berkurangnya transfer ini adalah menyusutnya produksi beras nasional. Mulai dari tahun 1984 sampai dengan 1993, Indonesia mengimpor rata-rata 160 ribu ton beras per tahun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/ pertahun pada periode 1994-1997. Pada masa krisis 1998-2000 jumlah ini meningkat lagi menjadi 4.65 juta tahun. Walau kemudian ada sedikit penurunan, sepanjang 2001-2005, impor beras bertahan di atas dua juta ton pertahunnya, yang membuat Indonesia praktis selalu berada pada lima besar negara pengimpor beras.
Dari sini jelas bahwa impor beras bukan sesuatu hal yang baru, tapi sudah dilakukan secara rutin dan teratur dalam waktu dua puluh tahun terakhir. Impor ini memang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan pangan dari kekurangan produksi dalam, serta untuk menyanggah stok pangan nasional untuk berbagai alasan. Dalam kaitan itu, beberapa penolak kebijakan sering merujuk kepada data surplus beras di daerah seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Timur untuk menolak impor beras. Perbandingan ini tentu tidak tepat mengingat ke dua propinsi ini memang terkenal sebagai lumbung beras nasional. Sementara sebagian besar propinsi dan secara nasional, sebagaimana yang diindikasikan oleh sensus pertanian 2003, Indonesia masih mengalami defisit beras. Lebih jauh, surplus yang dialami satu propinsi bukan jaminan akan tertutupnya defisit di propinsi lain. Sebab, lagi-lagi, tidak ada jaminan bahwa pedagang beras akan mau melepasnya stoknya ke Bulog, atau menjual berasnya dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Bahkan, sesungguhnya sejak awal sudah terdapat kecurigaan di sebagian masyarakat akan motivasi dari langkah ini. Ada kesan bahwa langkah pengajuan hak angket tidak lebih sekedar komoditisasi politik kebijakan perberasan dari beberapa partai untuk mengembalikan citra kerakyatannya. Gejala ini sudah terlihat dari ketidaktepatan berbagai argumentasi yang dikumandangkan oleh pihak pengusung anti beras impor.
Sebagai contoh argumen bahwa mayoritas penduduk miskin adalah petani beras, yang oleh karenanya akan dirugikan oleh kebijakan impor sudah dibuktikan sangat kontroversial. Sebab kenyataannya hanya 25 persen penduduk Indonesia merupakan petani beras. Kebanyakan dari petani beras itu juga adalah adalah petani subsisten yang lebih banyak mengkonsumsi ketimbang memproduksi beras. Sehingga dampak bersih dari kebijakan impor yang akan menekan harga beras di pasar domestik tentu bukan merugikan, akan tetapi justru menguntungkan mayoritas petani subsisten ini.
Demikian pula, argumen bahwa peningkatan harga beras domestik melalui penutupan keran impor adalah salah kaprah. Karena belum ada pembuktian yang meyakinkan bahwa produktivitas petani memiliki kaitan erat dengan tingkat harga gabah/beras domestik. Selama ini, pemerintah melalui BULOG membeli gabah dan beras bukan dari petani. Akan tetapi dari pedagang beras, yang terkonsentrasi di tangan beberapa distributor besar, yang bertindak sebagai oligopolis pasar. Jumlah penjual yang sangat terkonsentrasi ini menyebabkan setiap kenaikan harga gabah/beras, yang merupakan peningkatan defisit APBN, akan lebih banyak jatuh bukan pada petani akan tetapi sekedar dinikmati segelintir pedagang.
Bulog hanya mampu menyerap sekitar 10 ton dari surplus yang dikabarkan mencapai 2,7 juta ton pada tahun 2005. Selebihnya ditahan oleh para pedagang untuk berbagai alasan. Tarik menarik antara Bulog dan pedagang beras inilah yang kemudian menyebabkan melambungnya harga di tingkat konsumen. Dengan hanya sedikit saja manfaatnya, kalau pun ada bagi petani. Hal ini mengingat sebagian besar petani tidak menyimpan gabah atau beras untuk dijual.
Sementara itu kerugian bagi konsumen akibat melambungnya harga beras sudah terlihat sangat jelas. Dalam dua minggu pertama 2006 harga beras secara nasional sudah meningkat rata-rata sebesar 19 persen. Hal ini tentu saja bukan hanya mempersulit kehidupan rakyat kebanyakan yang sudah sarat beban. Akan tetapi juga akan berimbas pada peningkatan laju inflasi yang akan memiliki ramifikasi jauh ke berbagai besar-besaran moneter seperti tingkat bunga dan nilai tukar rupiah. Sebab makanan pokok seperti beras memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam penghitungan inflasi nasional dan daerah.
Dari uraian ini bisa disimpulkan langkah impor adalah tepat setidaknya untuk saat ini. Kini, berbagai pihak yang dikalahkan dalam hak angket berencana untuk membentuk satu komisi khusus tentang perberasan. Langkah ini patut didukung oleh semua pihak baik yang pro ataupun kontra terhadap beras impor. Karena memang pembentukan komisi khusus, yang biasanya ditujukan untuk mendalami satu persoalan, adalah prosedur umum pembuatan kebijakan yang berpotensi kontroversial di satu negara demokrasi.
Sayang, sebagaimana motivasi awalnya, komisi ini nampaknya hanya akan berkutat di seputar impor beras. Padahal masalah beras lebih dari sekedar impor atau tidak impor. Hal lain yang sesungguhnya lebih vital diselidiki dan diberikan solusi adalah persoalan di tata niaga pertanian. Persoalan ini sesungguhnya juga terjadi bukan hanya pada beras akan tetapi juga komoditi vital lain seperti gula. Kebijakan impor hanya akses dari carut-marut pada struktur dan tata niaga pertanian nasional. Persoalaan di tingkat tata niaga menyebabkan keterputusan mekanisme harga dan dampak intervensi pemerintah pada petani. Hal ini juga yang menyebabkan maraknya spekulasi yang merugikan negara dan kebanyakan rakyat.
Untuk itu, komisi perberasan harus melingkupi bukan hanya persoalan impor. Agenda yang lebih penting adalah mengurai tuntas benang kusut tata niaga dan mafia perberasan yang sudah lama menjadi duri dalam daging dalam perekonomian nasional. Langkah apa yang akan diambil tentu terserah kepada para pencetus komisi perberasan. Sementara rakyat hanya menilai apakah langkah ini murni karena ada keperdulian, atau sebatas gincu kerakyatan dan jualan politik partai-partai yang tengah meredup pamornya.
Rujukan:
http://dismal-science-indonesia-and-fantasy.blogspot.com/dilema-kebijakan-perberasan-dan.html